Thursday, March 10, 2016

POLITIK DINASTI DI INDONESIA



POLITIK DINASTI DI BANTEN

Undang-undang pemilihan kepala daerah perlu segera direvisi. Membajak demokrasi menuju politik oligarki.

       DI beberapa wilayah, pemilihan kepala daerah telah berubah menjadi ”arisan” keluarga. Suami-istri bergiliran menjadi bupati, mertua-menantu bertukar tempat sebagai wali kota dan wakilnya, adik-kakak serta anak tak ketinggalan memimpin daerah tetangga. Di Banten, kekerabatan politik bahkan mengular hingga ke jabatan legislatif dan yudikatif.
       Praktis, di wilayah mana pun di Banten mudah ditemukan pejabat yang berasal dari keluarga sang Gubernur: Ratu Atut Chosiyah. Konstitusi tentu tak melarang sama sekali setiap orang dari trah mana pun mencalonkan diri. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin setiap warga negara memiliki hak sama dalam berpolitik. Tapi, harus diakui, merebaknya dinasti politik di banyak daerah sudah sangat mencemaskan.
        Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik. Kecemasan muncul bukan hanya karena politik dinasti akan membelokkan demokrasi ke arah oligarki. Menguatnya nepotisme politik juga akan menggerus sumber daya ekonomi daerah, dari yang semula dihajatkan untuk kesejahteraan rakyat menjadi kepentingan privat. Korupsi jelas akan merajalela, kebocoran sumber pendapatan daerah kian menjadi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pun dengan mudah diselewengkan.
        Contoh aktual tentang praktek korupsi ini terjadi pada Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Atut dan suami Wali Kota Tangeran Selatan Airin Rachmi Diany. Wawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar untuk mengatur putusan sengketa pemilihan Bupati Lebak.
        Dalam kasus ini, Atut juga dicegah ke luar negeri. Diduga kasus korupsi yang dilakukan dinasti ini terentang dari penggunaan anggaran hibah untuk bantuan sosial hingga proyek infrastruktur. Nilai penyimpangan anggaran hibah saja ditaksir mencapai Rp 380 miliar. Ini belum termasuk beberapa kasus yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan.
        Dari kasus korupsi di Banten tersebut tampak jelas betapa berbahayanya bila kekuasaan terakumulasi pada sebuah keluarga. Dari satu daerah saja, negara dirugikan hingga ratusan miliar rupiah. Berapa puluh dan bahkan berapa ratus triliun uang yang ludes untuk memperkaya 57 dinasti. Praktek penyalahgunaan kekuasaan yang berpokok pada kekerabatan ini jelas harus diakhiri.
        Politik dinasti yang menjadi penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Orde Baru tak boleh kembali. Pemerintah sebenarnya sudah mengajukan revisi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang layak diapresiasi. Dalam revisi, pasal 70 (p) rancangan undang-undang ini menyebutkan warga negara yang dapat ditetapkan jadi calon bupati/wali kota ada- lah yang tidak punya ikatan perkawinan atau garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur atau bupati/ wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan. Pasal 12 (p) mengatur hal yang sama untuk calon gubernur.
         Dalam rancangan ini jelas kerabat dekat bupati/wali kota dan gubernur tak diperbolehkan maju dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten/kota dan provinsi yang sama. Namun mereka tetap bisa mencalonkan diri di daerah atau provinsi lain. Pemerintah hanya mengusulkan adanya jeda pencalonan bagi keluarga kepala daerah. Jalan lain yang bisa ditempuh adalah menyelenggarakan pemilu serentak.
          Bila pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan bersamaan, siapa pun, termasuk inkumben dan keluarganya, memiliki peluang terbatas ketika mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu jabatan: anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Dengan dua cara ini, para kepala daerah berikut anak, istri, suami, saudara, mertua, dan menantunya tak lagi leluasa menggangsir sumber daya daerah dan membajak demokrasi untuk kepentingan diri sendiri.

No comments:

Post a Comment