POLITIK
DINASTI DI BANTEN
Undang-undang
pemilihan kepala daerah perlu segera direvisi. Membajak demokrasi menuju
politik oligarki.
DI beberapa wilayah, pemilihan
kepala daerah telah berubah menjadi ”arisan” keluarga. Suami-istri bergiliran
menjadi bupati, mertua-menantu bertukar tempat sebagai wali kota dan wakilnya,
adik-kakak serta anak tak ketinggalan memimpin daerah tetangga. Di Banten,
kekerabatan politik bahkan mengular hingga ke jabatan legislatif dan yudikatif.
Praktis, di wilayah mana pun di Banten
mudah ditemukan pejabat yang berasal dari keluarga sang Gubernur: Ratu Atut
Chosiyah. Konstitusi tentu tak melarang sama sekali setiap orang dari trah mana
pun mencalonkan diri. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin setiap warga negara
memiliki hak sama dalam berpolitik. Tapi, harus diakui, merebaknya dinasti
politik di banyak daerah sudah sangat mencemaskan.
Kementerian Dalam Negeri mencatat ada
57 kepala daerah yang membangun dinasti politik. Kecemasan muncul bukan hanya
karena politik dinasti akan membelokkan demokrasi ke arah oligarki. Menguatnya
nepotisme politik juga akan menggerus sumber daya ekonomi daerah, dari yang
semula dihajatkan untuk kesejahteraan rakyat menjadi kepentingan privat.
Korupsi jelas akan merajalela, kebocoran sumber pendapatan daerah kian menjadi,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara pun dengan mudah diselewengkan.
Contoh aktual tentang praktek korupsi
ini terjadi pada Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Atut dan suami Wali
Kota Tangeran Selatan Airin Rachmi Diany. Wawan ditangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan dugaan menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar untuk
mengatur putusan sengketa pemilihan Bupati Lebak.
Dalam kasus ini, Atut juga dicegah ke
luar negeri. Diduga kasus korupsi yang dilakukan dinasti ini terentang dari
penggunaan anggaran hibah untuk bantuan sosial hingga proyek infrastruktur.
Nilai penyimpangan anggaran hibah saja ditaksir mencapai Rp 380 miliar. Ini
belum termasuk beberapa kasus yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan.
Dari kasus korupsi di Banten tersebut
tampak jelas betapa berbahayanya bila kekuasaan terakumulasi pada sebuah
keluarga. Dari satu daerah saja, negara dirugikan hingga ratusan miliar rupiah.
Berapa puluh dan bahkan berapa ratus triliun uang yang ludes untuk memperkaya
57 dinasti. Praktek penyalahgunaan kekuasaan yang berpokok pada kekerabatan ini
jelas harus diakhiri.
Politik dinasti yang menjadi penyebab
utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Orde Baru tak boleh
kembali. Pemerintah sebenarnya sudah mengajukan revisi Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah, yang layak diapresiasi. Dalam revisi, pasal 70 (p)
rancangan undang-undang ini menyebutkan warga negara yang dapat ditetapkan jadi
calon bupati/wali kota ada- lah yang tidak punya ikatan perkawinan atau garis
keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur atau bupati/
wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan. Pasal 12 (p)
mengatur hal yang sama untuk calon gubernur.
Dalam rancangan ini jelas kerabat
dekat bupati/wali kota dan gubernur tak diperbolehkan maju dalam pemilihan
kepala daerah di kabupaten/kota dan provinsi yang sama. Namun mereka tetap bisa
mencalonkan diri di daerah atau provinsi lain. Pemerintah hanya mengusulkan
adanya jeda pencalonan bagi keluarga kepala daerah. Jalan lain yang bisa
ditempuh adalah menyelenggarakan pemilu serentak.
Bila pemilu legislatif dan eksekutif
dilaksanakan bersamaan, siapa pun, termasuk inkumben dan keluarganya, memiliki
peluang terbatas ketika mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu
jabatan: anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Dengan dua cara ini, para
kepala daerah berikut anak, istri, suami, saudara, mertua, dan menantunya tak
lagi leluasa menggangsir sumber daya daerah dan membajak demokrasi untuk kepentingan
diri sendiri.
No comments:
Post a Comment