Friday, March 4, 2016

CERITA PARA JURU FOTO PRESIDEN



CERITA PARA  JURU FOTO PRESIDEN

          Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhenti bergerak sejenak. Matanya menatap ke titik arah kilatan lampu kamera. Seketika lampu kilat kamera berhenti menyala. Jari sang fotografer pun lepas dari tombol kamera seraya bergeser dari posisinya semula. “Diliatin saja kita sudah tahu itu kode dari Pak SBY kalau sesi foto sudah cukup,” tutur Abror Rizki, salah seorang fotografer pribadi Presiden Yudhoyono. Isyarat lainnya bila Yudhoyono ingin sesi foto dihentikan adalah gerakan jari telunjuk.
        Menjadi fotografer pribadi Presiden menjadi pilihan hidup bekas wartawan foto majalah Matra itu. Ketika ramai kampanye pemilihan umum presiden pada 2004, dia memutuskan mengikuti tur Yudhoyono, yang menjadi salah satu kontestan. “Saya dikenalkan oleh Sys Ns.,” katanya. Raden Mas Haryo Heroe Syswanto Ns. Soerio Soebagio nama lengkap Sys kala itu adalah salah seorang pendiri Partai Demokrat, yang dikenal dekat dengan Yudhoyono. Saat itu, kata Abror, dia mengajukan konsep aktivitas Yudhoyono selama berkampanye. Konsep itu ternyata disetujui. Setelah pilpres usai pada 9 September 2004, tepat pada hari ulang tahun presiden terpilih Yudhoyono, Abror menggelar pameran foto hasil jepretannya sepanjang kampanye di Lagoon Tower Hotel Sultan Jakarta.
        Pameran dengan judul SBY dalam 99 Gambar itu pun dibuka langsung oleh Yudhoyono. Saat itu Presiden memuji karya-karya fotografinya. “Dik Abror, kamu tahu tidak Ipphos (Indonesian Press Photo Service)? Foto-foto kamu mengingatkan saya pada karya Ipphos,” ujar Abror menirukan ucapan Yudhoyono kepadanya. Pujian itu berujung dengan direkrutnya pria kelahiran 23 September 1966 tersebut sebagai fotografer pribadi Yudhoyono. Selain Abror, Yudhoyono punya fotografer pribadi lainnya, yakni Dudi Anung Anindito. Sys Ns. menilai Abror sebagai fotografer yang tangkas dan punya sudut pandang menarik saat membidik obyeknya. “Dia layak jadi fotografer presiden,” ujarnya.
        Semula Abror mengaku sering “bergesekan” dengan Pasukan Pengamanan Presiden saat akan mengabadikan gerak-gerik Yudhoyono. Padahal, untuk mendapatkan gambar terbaik, dia harus cukup dekat dengan sang presiden. “Foto lebih berbicara ketika mimik dan ekspresi terekam dengan bagus,” ujarnya. Akhirnya dia pun dibekali radio komunikasi. Dia bisa menjadi lebih leluasa berada dekat Presiden. “Teman-teman bercanda, kalau Paspampres ring satu, saya ini ring setengah. Karena saya kadang berada di tengah Presiden dan Paspampres,” ujar Abror seraya terkekeh. Akses itu pula sering dimanfaatkannya untuk membantu wartawan foto media yang akan mengambil gambar Presiden. “Kalau pengamanan terlalu rapat, saya kontak komandan agar dibuka sedikit untuk memudahkan teman lain mengambil foto.” Menjadi fotografer pribadi presiden otomatis membuatnya turut serta ke mana pun Yudhoyono bertugas. Bukan cuma ke berbagai pelosok daerah, tapi juga ke berbagai penjuru dunia.    
         Saat Yudhoyono menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Nonblok di Havana, Kuba, pada 2006, Abror harus bangun pukul 5 pagi untuk mengikuti pengecekan saat Yudhoyono diterima Presiden Kuba Raul Castro. “Tidak sempat sarapan dan modalnya hanya teh manis,” katanya. Ketika menunggu foto bersama para pemimpin negara pada pukul 12 tengah hari, dia pun harus bersiap di bawah sengatan matahari dalam kondisi perut kosong. “Cuma ngemut gula pasir,” ujar Abror.  
        Situasi ekstrem lainnya justru dihadapi ketika berada di Hokkaido, Jepang, saat pergelaran KTT G-8. “Saat menunggu foto bersama, cuaca sangat dingin dan berkabut,” katanya. Namun jerih payahnya menunggu dalam cuaca dingin itu terbayarkan. Foto itu kemudian dicetak dalam ukuran 2 x 1 meter dan dipajang di credential room Istana Merdeka, Jakarta. “Saya sangat bangga,” katanya. Karya lain yang menurut dia membanggakan adalah foto yang dipajang di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri. Foto ukuran 1,5 x 2 meter itu memperlihatkan Presiden Yudhoyono menunjuk ke atas, sehingga seolah-olah menunjuk replika Garuda Pancasila yang berada dalam gedung. “Foto itu saat acara pengarahan dubes di Pejambon dan ada tanda tangan Presiden,” ujarnya.
          Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto juga memiliki fotografer kesayangan sejak 1967. Saidi, namanya. Oleh kalangan wartawan Istana, dia dijuluki “Kopral Bernasib Jenderal”. Maklum, meski pangkatnya cuma prajurit rendahan tapi di lingkungan istana Saidi bisa leluasa slanang-slonong melebihi seorang jenderal yang tengah menghadap Soeharto. Salah satu karya masterpiece Saidi, menurut Casmo Tatilitofa yang pernah meliput di istana sejak 1979-2003, adalah adegan Ajudan Presiden Kolonel Try Sutrisno menarik tongkat Soeharto saat berada di pematang sawah pada pertengahan 1970- an. Pada 1993, Try dipercaya menjadi wakil presiden hingga 1998. Saidi juga  yang mengabadikan kemesraan Soeharto dan Ibu Tien saat berada di Tembok Besar Cina.
         “Dia berani mengatur-atur Pak Harto untuk berpose, duduk pak, senyum pak, peluk ibu Pak,” kisah Casmo yang pernah menjadi wartawan Berita Yudha dan Persda. Saking disayangnya, saat fotografer kelahiran 16 Juli 1942 itu mengalami kecelakaan mobil, Soeharto menyempatkan diri membesuknya ke rumah sakit. Begitu juga saat helikopter yang ditumpangi Saidi gagal mendarat dengan mulus di Aceh.  “Semua petugas di rumah sakit heboh, kok ada pasien biasa yang dibesuk khusus oleh Presiden,” kenang Casmo..
         Pemimpin dunia yang diketahui memiliki fotografer pribadi adalah Presiden Rusia Vladimir Putin. Dia memilih Yana Lapikova yang seksi. Maklum, Lapikova adalah kontestan Miss Rusia. Seolah tak mau kalah dengan Putin, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev pun merekrut fotografer perempuan Katya Shtukina. Katya sebelumnya adalah fotografer surat kabar

No comments:

Post a Comment