CERITA PARA JURU FOTO PRESIDEN
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono berhenti bergerak sejenak. Matanya menatap ke titik arah
kilatan lampu kamera. Seketika lampu kilat kamera berhenti menyala. Jari sang
fotografer pun lepas dari tombol kamera seraya bergeser dari posisinya semula.
“Diliatin saja kita sudah tahu itu kode dari Pak SBY kalau sesi foto
sudah cukup,” tutur Abror Rizki, salah seorang fotografer pribadi Presiden
Yudhoyono. Isyarat lainnya bila Yudhoyono ingin sesi foto dihentikan adalah
gerakan jari telunjuk.
Menjadi fotografer pribadi Presiden
menjadi pilihan hidup bekas wartawan foto majalah Matra itu. Ketika
ramai kampanye pemilihan umum presiden pada 2004, dia memutuskan mengikuti tur
Yudhoyono, yang menjadi salah satu kontestan. “Saya dikenalkan oleh Sys Ns.,”
katanya. Raden Mas Haryo Heroe Syswanto Ns. Soerio Soebagio nama lengkap Sys kala
itu adalah salah seorang pendiri Partai Demokrat, yang dikenal dekat dengan
Yudhoyono. Saat itu, kata Abror, dia mengajukan konsep aktivitas Yudhoyono
selama berkampanye. Konsep itu ternyata disetujui. Setelah pilpres usai pada 9
September 2004, tepat pada hari ulang tahun presiden terpilih Yudhoyono, Abror
menggelar pameran foto hasil jepretannya sepanjang kampanye di Lagoon Tower Hotel
Sultan Jakarta.
Pameran dengan judul SBY dalam 99
Gambar itu pun dibuka langsung oleh Yudhoyono. Saat itu Presiden memuji
karya-karya fotografinya. “Dik Abror, kamu tahu tidak Ipphos (Indonesian Press
Photo Service)? Foto-foto kamu mengingatkan saya pada karya Ipphos,” ujar Abror
menirukan ucapan Yudhoyono kepadanya. Pujian itu berujung dengan direkrutnya
pria kelahiran 23 September 1966 tersebut sebagai fotografer pribadi Yudhoyono.
Selain Abror, Yudhoyono punya fotografer pribadi lainnya, yakni Dudi Anung
Anindito. Sys Ns. menilai Abror sebagai fotografer yang tangkas dan punya sudut
pandang menarik saat membidik obyeknya. “Dia layak jadi fotografer presiden,”
ujarnya.
Semula Abror mengaku sering
“bergesekan” dengan Pasukan Pengamanan Presiden saat akan mengabadikan
gerak-gerik Yudhoyono. Padahal, untuk mendapatkan gambar terbaik, dia harus
cukup dekat dengan sang presiden. “Foto lebih berbicara ketika mimik dan
ekspresi terekam dengan bagus,” ujarnya. Akhirnya dia pun dibekali radio komunikasi.
Dia bisa menjadi lebih leluasa berada dekat Presiden. “Teman-teman bercanda,
kalau Paspampres ring satu, saya ini ring setengah. Karena saya kadang berada
di tengah Presiden dan Paspampres,” ujar Abror seraya terkekeh. Akses itu pula
sering dimanfaatkannya untuk membantu wartawan foto media yang akan mengambil
gambar Presiden. “Kalau pengamanan terlalu rapat, saya kontak komandan agar
dibuka sedikit untuk memudahkan teman lain mengambil foto.” Menjadi fotografer
pribadi presiden otomatis membuatnya turut serta ke mana pun Yudhoyono
bertugas. Bukan cuma ke berbagai pelosok daerah, tapi juga ke berbagai penjuru
dunia.
Saat Yudhoyono menghadiri Konferensi
Tingkat Tinggi Gerakan Nonblok di Havana, Kuba, pada 2006, Abror harus bangun
pukul 5 pagi untuk mengikuti pengecekan saat Yudhoyono diterima Presiden Kuba
Raul Castro. “Tidak sempat sarapan dan modalnya hanya teh manis,” katanya.
Ketika menunggu foto bersama para pemimpin negara pada pukul 12 tengah hari,
dia pun harus bersiap di bawah sengatan matahari dalam kondisi perut kosong.
“Cuma ngemut gula pasir,” ujar Abror.
Situasi ekstrem lainnya justru dihadapi
ketika berada di Hokkaido, Jepang, saat pergelaran KTT G-8. “Saat menunggu foto
bersama, cuaca sangat dingin dan berkabut,” katanya. Namun jerih payahnya
menunggu dalam cuaca dingin itu terbayarkan. Foto itu kemudian dicetak dalam
ukuran 2 x 1 meter dan dipajang di credential room Istana Merdeka,
Jakarta. “Saya sangat bangga,” katanya. Karya lain yang menurut dia
membanggakan adalah foto yang dipajang di Gedung Pancasila, Kementerian Luar
Negeri. Foto ukuran 1,5 x 2 meter itu memperlihatkan Presiden Yudhoyono
menunjuk ke atas, sehingga seolah-olah menunjuk replika Garuda Pancasila yang
berada dalam gedung. “Foto itu saat acara pengarahan dubes di Pejambon dan ada
tanda tangan Presiden,” ujarnya.
Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto
juga memiliki fotografer kesayangan sejak 1967. Saidi, namanya. Oleh kalangan
wartawan Istana, dia dijuluki “Kopral Bernasib Jenderal”. Maklum, meski
pangkatnya cuma prajurit rendahan tapi di lingkungan istana Saidi bisa leluasa
slanang-slonong melebihi seorang jenderal yang tengah menghadap Soeharto. Salah
satu karya masterpiece Saidi, menurut Casmo Tatilitofa yang pernah meliput di
istana sejak 1979-2003, adalah adegan Ajudan Presiden Kolonel Try Sutrisno
menarik tongkat Soeharto saat berada di pematang sawah pada pertengahan 1970-
an. Pada 1993, Try dipercaya menjadi wakil presiden hingga 1998. Saidi
juga yang mengabadikan kemesraan Soeharto
dan Ibu Tien saat berada di Tembok Besar Cina.
“Dia berani mengatur-atur Pak Harto
untuk berpose, duduk pak, senyum pak, peluk ibu Pak,” kisah Casmo yang pernah
menjadi wartawan Berita Yudha dan Persda. Saking disayangnya, saat fotografer
kelahiran 16 Juli 1942 itu mengalami kecelakaan mobil, Soeharto menyempatkan
diri membesuknya ke rumah sakit. Begitu juga saat helikopter yang ditumpangi
Saidi gagal mendarat dengan mulus di Aceh.
“Semua petugas di rumah sakit heboh, kok ada pasien biasa yang dibesuk
khusus oleh Presiden,” kenang Casmo..
Pemimpin dunia yang diketahui memiliki
fotografer pribadi adalah Presiden Rusia Vladimir Putin. Dia memilih Yana
Lapikova yang seksi. Maklum, Lapikova adalah kontestan Miss Rusia. Seolah tak
mau kalah dengan Putin, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev pun merekrut
fotografer perempuan Katya Shtukina. Katya sebelumnya adalah fotografer surat
kabar
No comments:
Post a Comment