Melepaskan Kewarganegaraan Amerika Serikat
Sekarang aku bisa tidur dengan tenang tak perlu lagi mengkhawatirkan urusan pajak.”
Pada 1 Januari 2010, empat sekawan
Felipe Matos, Gaby Pacheco, Carlos Roa, dan Juan Rodriguez me- mulai perjalanan
dramatis dari Miami. Empat maha- siswa ini berjalan kaki hampir 2.500 kilometer
ke ibu kota Amerika Serikat, Washington, DC. Hampir empat bulan kemudian, pada
28 April 2010, mereka tiba di Washington. Mereka berempat nekat menempuh jarak
sejauh itu dengan berjalan kaki demi memperjuangkan Undang-Undang
Development, Rel ief, and Education for
Alien Minors. Undang-un- dang ini memungkinkan anak-anak imigran gelap di
Amerika seperti mereka mendapatkan status warga negara jika memenuhi syarat.
Keluarga Gaby tiba di Mi- ami dari Ekuador pada 1993. Kala itu Gaby baru
berumur 7 tahun. Keluarga imigran ini tinggal di Miami. “Aku memandang diriku
sebagai gadis Amerika,” kata Gaby kala itu.
Dia bercita-cita masuk dinas Angkatan
Udara Amerika. “Tapi, karena aku tak punya dokumen kependudukan, aku tak bisa
masuk.” Walaupun sudah belasan tahun tinggal di Amerika, Gaby, Felipe, Carlos,
dan ribuan imigran lain tak juga bisa menggapai “American dreams”, yang selalu
menjadi khayalan para imigran saat hendak berangkat ke Negeri Abang Sam. “Bagi
saya, kewarganegaraan Amerika berarti kebebasan berekspresi dan tinggal serta
bekerja di negara bebas. Juga tidak perlu takut ditangkap atau dilecehkan
karena memiliki buku atau gambar tertentu,” kata Emöke Barabas, penulis dari
Rumania.
Barabas tiba di Amerika pada 1990 dan
menjalani proses naturalisasi, hingga 10 tahun kemudian disumpah menjadi warga
negara Amerika. “Menjadi orang Amerika bukan hanya sebuah kehormatan besar,
tapi juga kewajiban berbuat lebih banyak dan mencapai yang lebih tinggi,” ujar
Barabas. Ketika ada ribuan, bahkan jutaan, orang mati - matian mencari status
kewarganegaraan Amerika dan mengejar “mimpi Amerika”, tak sedikit orang yang dengan enteng melepas status itu. Menurut catatan
kantor Federal Register, selama tiga bulan kedua 2013, ada 1.131 warga Amerika
yang melepas kewarganegaraan.
Bandingkan dengan periode yang sama
setahun lalu, yang hanya 189 orang atau lima tahun lalu. Pada 2008, jumlah
warga Amerika yang melepas statusnya hanya 285 orang. Kantor Federal Register
tak memberikan data apa alasan orang-orang ini rela melepas “mimpi Ameri- ka”
mereka. Tapi tak sedikit yang menduga, mereka mancampakkan paspor Amerika
semata-mata urus- an pajak. Mulai Juli 2014, Undang-Undang Pajak atas Rekening
Asing atau Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) mulai berlaku.
Undang-undang ini mewajibkan semua lembaga keuangan di seluruh dunia melaporkan
semua aset dan pendapatan setiap warga negara Amerika yang bernilai lebih dari
US$ 50 ribu langsung ke US Internal Revenue Service (IRS).
Bagi lembaga keuangan yang membandel,
pemerintah Amerika dapat menahan 30 persen dividen dan pembayaran bunga oleh
bank. Dari rekening dan aset milik sekitar 8 juta warganya yang terserak di luar
negeri, IRS berharap bisa meraup pajak hingga US$ 100 miliar atau sekitar Rp
1.100 triliun.
Bridget, bukan nama sebenarnya, sudah
lebih dari 32 tahun tinggal di negara Skandinavia. Dia memutuskan melepas
status warga negara Amerika dua tahun lalu. “Ini tak ada urusannya dengan
menghindari pajak karena aku di sini membayar pajak lebih banyak lagi,” kata
Bridget dua pekan lalu. “Masalahnya buatku, semakin sulit dan semakin sulit
lagi untuk memenuhi rupa-rupa aturan pajak. Apa- lagi, saat mendengar FATCA
bakal datang, aku pikir, ‘Apakah aku harus melewati ini lagi?,’” ujar Bridget.
Walaupun sudah berusaha keras memenuhi semua kewajibannya, dia tetap merasa
terancam. Sedikit saja perubahan di rekeningnya sudah membuat dia waswas.
“Sekarang aku bisa tidur nyenyak, tak perlu lagi mengkhawatirkan urusan
pajak....
Dulu aku selalu memperkenalkan diri
sebagai orang Amerika, tapi sekarang tidak lagi,” katanya. Urusan FATCA memang
membuat sebagian warga Amerika yang tinggal di luar negeri kebingungan.
Victoria Ferauge, 47 tahun, menikah dengan laki-laki Prancis dan sudah 20 tahun
tak lagi tinggal di Amerika. Dia punya paspor ganda: Prancis dan Amerika. Dia
cemas memikirkan, seandainya Prancis bersedia bekerja sama dengan IRS, apa yang
akan terjadi dengan rekening banknya. “Apakah rekening bank milikku harus
ditutup? Atau suamiku harus menghapus namaku dari daftar rekeningnya,” dia
kebingungan. Dia tak lagi bekerja dan tak punya pendapatan. Namun, untuk urusan
pajak dengan IRS, dia terpaksa membayar konsultan hingga US$ 1.000.
Walaupun pusing mengenai urusan pajak
dengan negara kelahir annya, sampai detik ini dia belum mempertimbangkan untuk
melepas paspor Amerikanya. Urusan pajak dengan negara kelahiran ini memang
bikin senewen. Ruth Freeborn sudah lebih dari tiga dekade tinggal di Kanada.
Dia memegang paspor Ka- nada dan Amerika. Suaminya warga Kanada, demikian pula anak-anaknya.
Dia juga tak punya secuil pun aset tersisa di Amerika. Namun dia tetap harus
berurusan dengan pajak. “Aku merasa seperti dipaksa melepas kewarganegaraan,”
ujarnya. “Dan aku tahu beberapa orang merasakan hal serupa.”
Beberapa sosialita dan miliarder,
seperti penyanyi Tina Turner dan Isabel Getty, putri pemilik Getty Oil, juga
tak sayang “membuang” status sebagai warga negara Amerika Serikat. Dua tahun
lalu, Eduardo Saverin memutuskan melepas paspor Amerikanya. Miliarder muda
salah satu pendiri Facebook itu sebelumnya memiliki dua paspor: Amerika dan
Brasil. Dia memilih menetap di Singapura. “Ini tidak ada hubungannya dengan pajak,” Saverin menegaskan. “Aku lahir di
Brasil, aku adalah warga negara Amerika selama sekitar 10 tahun. Aku menganggap
diriku sebagai warga dunia,” ujarnya. “Saya bukan ahli pajak. Kami mematuhi
semua hu- kum yang ada. Ada exit tax, pajak keluar, yang aku bayar,”
ujarnya. Bloomberg menaksir pajak keluar yang dibayar Saverin sekitar
US$ 365 juta atau sekitar Rp 4 triliun.
No comments:
Post a Comment