Friday, March 4, 2016

ALASAN BEBERAPA ORANG MELEPAS KEWARGANEGARAAN AMERIKA



Melepaskan Kewarganegaraan Amerika Serikat
Sekarang aku bisa tidur dengan tenang tak perlu lagi mengkhawatirkan urusan pajak.”

       Pada 1 Januari 2010, empat sekawan Felipe Matos, Gaby Pacheco, Carlos Roa, dan Juan Rodriguez me- mulai perjalanan dramatis dari Miami. Empat maha- siswa ini berjalan kaki hampir 2.500 kilometer ke ibu kota Amerika Serikat, Washington, DC. Hampir empat bulan kemudian, pada 28 April 2010, mereka tiba di Washington. Mereka berempat nekat menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki demi memperjuangkan Undang-Undang Development,  Rel ief, and Education for Alien Minors. Undang-un- dang ini memungkinkan anak-anak imigran gelap di Amerika seperti mereka mendapatkan status warga negara jika memenuhi syarat. Keluarga Gaby tiba di Mi- ami dari Ekuador pada 1993. Kala itu Gaby baru berumur 7 tahun. Keluarga imigran ini tinggal di Miami. “Aku memandang diriku sebagai gadis Amerika,” kata Gaby kala itu.
        Dia bercita-cita masuk dinas Angkatan Udara Amerika. “Tapi, karena aku tak punya dokumen kependudukan, aku tak bisa masuk.” Walaupun sudah belasan tahun tinggal di Amerika, Gaby, Felipe, Carlos, dan ribuan imigran lain tak juga bisa menggapai “American dreams”, yang selalu menjadi khayalan para imigran saat hendak berangkat ke Negeri Abang Sam. “Bagi saya, kewarganegaraan Amerika berarti kebebasan berekspresi dan tinggal serta bekerja di negara bebas. Juga tidak perlu takut ditangkap atau dilecehkan karena memiliki buku atau gambar tertentu,” kata Emöke Barabas, penulis dari Rumania.
       Barabas tiba di Amerika pada 1990 dan menjalani proses naturalisasi, hingga 10 tahun kemudian disumpah menjadi warga negara Amerika. “Menjadi orang Amerika bukan hanya sebuah kehormatan besar, tapi juga kewajiban berbuat lebih banyak dan mencapai yang lebih tinggi,” ujar Barabas. Ketika ada ribuan, bahkan jutaan, orang mati - matian mencari status kewarganegaraan Amerika dan mengejar “mimpi Amerika”, tak sedikit orang yang dengan  enteng melepas status itu. Menurut catatan kantor Federal Register, selama tiga bulan kedua 2013, ada 1.131 warga Amerika yang melepas kewarganegaraan.
        Bandingkan dengan periode yang sama setahun lalu, yang hanya 189 orang atau lima tahun lalu. Pada 2008, jumlah warga Amerika yang melepas statusnya hanya 285 orang. Kantor Federal Register tak memberikan data apa alasan orang-orang ini rela melepas “mimpi Ameri- ka” mereka. Tapi tak sedikit yang menduga, mereka mancampakkan paspor Amerika semata-mata urus- an pajak. Mulai Juli 2014, Undang-Undang Pajak atas Rekening Asing atau Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) mulai berlaku. Undang-undang ini mewajibkan semua lembaga keuangan di seluruh dunia melaporkan semua aset dan pendapatan setiap warga negara Amerika yang bernilai lebih dari US$ 50 ribu langsung ke US Internal Revenue Service (IRS).
         Bagi lembaga keuangan yang membandel, pemerintah Amerika dapat menahan 30 persen dividen dan pembayaran bunga oleh bank. Dari rekening dan aset milik sekitar 8 juta warganya yang terserak di luar negeri, IRS berharap bisa meraup pajak hingga US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.100 triliun.
        Bridget, bukan nama sebenarnya, sudah lebih dari 32 tahun tinggal di negara Skandinavia. Dia memutuskan melepas status warga negara Amerika dua tahun lalu. “Ini tak ada urusannya dengan menghindari pajak karena aku di sini membayar pajak lebih banyak lagi,” kata Bridget dua pekan lalu. “Masalahnya buatku, semakin sulit dan semakin sulit lagi untuk memenuhi rupa-rupa aturan pajak. Apa- lagi, saat mendengar FATCA bakal datang, aku pikir, ‘Apakah aku harus melewati ini lagi?,’” ujar Bridget. Walaupun sudah berusaha keras memenuhi semua kewajibannya, dia tetap merasa terancam. Sedikit saja perubahan di rekeningnya sudah membuat dia waswas. “Sekarang aku bisa tidur nyenyak, tak perlu lagi mengkhawatirkan urusan pajak....
        Dulu aku selalu memperkenalkan diri sebagai orang Amerika, tapi sekarang tidak lagi,” katanya. Urusan FATCA memang membuat sebagian warga Amerika yang tinggal di luar negeri kebingungan. Victoria Ferauge, 47 tahun, menikah dengan laki-laki Prancis dan sudah 20 tahun tak lagi tinggal di Amerika. Dia punya paspor ganda: Prancis dan Amerika. Dia cemas memikirkan, seandainya Prancis bersedia bekerja sama dengan IRS, apa yang akan terjadi dengan rekening banknya. “Apakah rekening bank milikku harus ditutup? Atau suamiku harus menghapus namaku dari daftar rekeningnya,” dia kebingungan. Dia tak lagi bekerja dan tak punya pendapatan. Namun, untuk urusan pajak dengan IRS, dia terpaksa membayar konsultan hingga US$ 1.000.
        Walaupun pusing mengenai urusan pajak dengan negara kelahir annya, sampai detik ini dia belum mempertimbangkan untuk melepas paspor Amerikanya. Urusan pajak dengan negara kelahiran ini memang bikin senewen. Ruth Freeborn sudah lebih dari tiga dekade tinggal di Kanada. Dia memegang paspor Ka- nada dan Amerika. Suaminya warga Kanada, demikian pula anak-anaknya. Dia juga tak punya secuil pun aset tersisa di Amerika. Namun dia tetap harus berurusan dengan pajak. “Aku merasa seperti dipaksa melepas kewarganegaraan,” ujarnya. “Dan aku tahu beberapa orang merasakan hal serupa.”
         Beberapa sosialita dan miliarder, seperti penyanyi Tina Turner dan Isabel Getty, putri pemilik Getty Oil, juga tak sayang “membuang” status sebagai warga negara Amerika Serikat. Dua tahun lalu, Eduardo Saverin memutuskan melepas paspor Amerikanya. Miliarder muda salah satu pendiri Facebook itu sebelumnya memiliki dua paspor: Amerika dan Brasil. Dia memilih menetap di Singapura. “Ini tidak ada hubungannya dengan  pajak,” Saverin menegaskan. “Aku lahir di Brasil, aku adalah warga negara Amerika selama sekitar 10 tahun. Aku menganggap diriku sebagai warga dunia,” ujarnya. “Saya bukan ahli pajak. Kami mematuhi semua hu- kum yang ada. Ada exit tax, pajak keluar, yang aku bayar,” ujarnya. Bloomberg menaksir pajak keluar yang dibayar Saverin sekitar US$ 365 juta atau sekitar Rp 4 triliun.

No comments:

Post a Comment