Model Pemanfaatan
sekaligus Pelestarian Sumberdaya Air dengan Mikrohidro
Di Kecamatan Sibolangit terdapat 12 pembangkit listrik mikrohidro, yang dibangun secara swadaya oleh
warga dan sudah berusia belasan tahun. Proyek yang didanai GEF SGP berlokasi di
desa Bukum, di mana ada pembangkit mikrohidro berkekuatan 40 kiloWatt yang
memasok kebutuhan listrik warga 3 dusun. Programnya adalah konservasi daerah
bantaran sungai Lau Serui, untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas,
kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air.
Untuk menyamakan persepsi dengan warga
tentang perlunya pelestarian air bagi kelangsungan mikrohidro, Petra dan
pengurus mikrohidro mengajak warga melakukan pengamatan di sepanjang bantaran
sungai. Mereka menemukan lokasi- lokasi yang rawan longsor sehingga mengancam
pasokan air. Demikian pula adanya penebangan hutan di sepanjang bantaran
sungai. Dari pemantauan yang dilakukan setiap minggu dalam 4 bulan, terdeteksi
penurunan debit air dan pendangkalan.
Berdasarkan temuan-temuan itu, Petra
memfasilitasi warga merumuskan
upaya konservasi yang
perlu dilakukan. Pertama penghijauan bantaran sungai Lau Serui dan saluran air
yang menuju mikrohidro. Disepakati pemilik lahan di sepanjang bantaran sungai
merelakan tanah selebar 15 meter untuk ditanami pohon buah- buahan.Namun
ternyata upaya konservasi air tersebut tidak maksimal, karena hulu Lau Serui
berada di kabupaten lain, Kabupaten Karo. Daerah hulu ini terancam oleh
penebangan hutan dan pengambilan humus tanah.
Energi Skala Kecil
Sejak 1998
hingga awal 2009, GEF SGP Indonesia telah membantu pendanaan bagi pembangunan
tak kurang dari 14 pembangkit listrik mikrohidro di Jawa, Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi. Seperti terlihat di tabel di halaman selanjutnya, lebih dari setengah
pendanaan- pendanaan itu diajukan dan kemudian dibangun di atas tahun 2006.
Kenyataan ini secara tidak langsung menggambarkan peta perkembangan pemahaman
dan penerapan penggunaan energi alternatif di kalangan
Proyeksi diversifikasi sumber energi
di Indonesia
komunitas kampung serta kelompok-kelompok pendamping
masyarakat. Dengan makin banyaknya pemberitaan tentang pembangkit listrik
tenaga mikrohidro (PLTMH), jumlah proposal ke GEF SGP Indonesia yang melibatkan
pembangunan mikrohidro meningkat cukup signifikan.
Listrik
di Desa: Hak dan Kewajiban
Pengembangan pembangkit listrik yang didanai GEF SGP
Indonesia selalu dikaitkan dengan pelestarian tata air, ekosistem hutan dan
keanekaragaman hayati. Dengan adanya PLTMH Cibuluh (halaman 19), terbukti mampu
memacu semangat masyarakat untuk secara bersama- sama menjaga hutan Cagar Alam
Gunung Simpang, Jawa Barat. Begitu pula PLTMH Muluy (halaman 26), yang
meningkatkan posisi tawar komunitas dalam rangka mencegah masuknya
kepentingan-kepentingan ekstraktif di Kawasan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan
Timur.
Di lain sisi, pemanfaatan sumberdaya air
untuk pembangkitan tenaga listrik sebenarnya juga mengandung unsur hak
masyarakat setempat. Sama seperti hak atas airbersih serta hak menggunakan air
untuk keperluan irigasi pertanian.
Kepentingan
utama masyarakat ialah memperoleh listrik. Sementara pihak kedua, pembangun dan
pemberi dana, biasanya punya kepentingan lain. Kalau pihak kedua ini datang
dari kelompok pembela konservasi lingkungan hidup, maka ‘pesan’nya bisa seperti
tadi, yaitu masyarakat diberi listrik dengan syarat harus melestarikan hutan
dan sistem tata air. Atau minimal penguatan kerja kelompok dalam komunitas. Tak
jarang pula, terselip kepentingan pemberi dana, umumnya perusahaan, dalam
rangka menjalankan tanggungjawab sosial (CSR, corporate social
responsibility). Perusahaan sering menarik keuntungan jauh lebih besar dari
nilai dana yang disumbangkan. Pertanyaannya, di mana kah batas keseimbangan
antara manfaat bagi masyarakat dengan
keuntungan bagi pihak pemberi?
Ada kelompok
pendapat yang mengatakan, masyarakat- masyarakat terpencil di Indonesia masih
belum cukup menikmati hak-haknya atas sumberdaya alam, termasuk potensi air
untuk listrik. Mereka belum saatnya dilibatkan dalam ‘perjuangan’ untuk menegakkan
kesetaraan, menentang kepentingan pemberi dana yang berlebihan.
Berikan saja hak masyarakat untuk menikmati listrik
tenaga air, sekali pun pembangunannya membuka kesempatan bagi pemberi dana
untuk memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dalam hal peningkatan citra.
Yang tidak boleh ditawar adalah hak masyarakat atas informasi. Masyarakat
penerima bantuan harus mengetahui sepenuhnya segala keuntungan kerugian bagi
dirinya maupun bagi pihak kedua, sebelum seluruh proses dimulai. Dengan prinsip
FPIC (free prior informed consent) seperti ini, dapat dicegah dampak
perbedaan kepentingan, yang bukan saja dapat membawa perselisihan, namun juga
mengancam keberlanjutan inisiatif peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Listrik
Mandiri
Jauh sebelum
masa populernya mikrohidro, sebenarnya sudah banyak pembangkit listrik skala
kecil yang dibuat sendiri sepenuhnya oleh masyarakat. Mulai dari inisiatif,
modal, hingga pembuatan dan pemeliharaan. Namun, dengan penguasaan teknologi
yang seadanya, efisiensi dan faktor keselamatan yang diperoleh pada umumnya
rendah. Tak sedikit kasus kecelakaan orang tersengat listrik karena sistem
kabel yang terbuka, misalnya. Daya yang dihasilkan pun biasanya kecil,
dibandingkan dengan potensi tenaga air yang tersedia. Dan bukan saja disebabkan
oleh kualitas bahan serta perlengkapan mekanikal elektrikal yang kurang memadai
- banyak yang menggunakan dinamo starter mobil, dinamo sepeda motor, hingga
motor dengan kumparan gulungan sendiri. Keterbatasan pemahaman atas sistem tata
air serta kemungkinan-kemungkinan pengelolaannya, tidak kalah besar berpengaruh
pada kapasitas daya yang dapat dibangkitkan, seperti dijelaskan oleh Kusetiadi
Raharjo, salah satu pengembang mikrohidro di Bandung.
Tata
Konsumsi dan Tata Produksi
Terlepas dari
semua itu, mungkin ini lah bentuk kedaulatan energi. Masyarakat mampu mencukupi
sendiri kebutuhannya. Tidak bergantung kepada pihak luar. Akan tetapi,
persoalan kembali muncul ketika terjadi perubahan tata konsumsi masyarakat.
Contoh, generator 100 Watt saja sudah dapat memasok
listrik bagi 3-4 honai di pedalaman Papua. Yang diperlukan memang hanya
masing-masing 1-2 lampu hemat energi 8-15 Watt untuk menerangi interior ruang
sekitar 3x5 meter. Ditambah dengan radio, dan kemudian televisi, masih oke.
Selain konsumsi dayanya kecil, keduanya adalah sumber informasi, yang sering
merupakan kebutuhan paling mendasar yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompok
masyarakat terpencil agar dapat meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Namun
tak jarang,
segera
lahir pula keinginan untuk punya kulkas. Di sini, peningkatan produktivitas
tidak selalu dapat menjawab peningkatan konsumsi. Daya listrik tidak langsung
dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas rumahtangga, apalagi
komunitas. Produksi es batu atau es krim misalnya, masih harus menghadapi
masalah pemasaran. Jika tak ada akses ke luar kampung, maka peningkatan
produktivitas takkan menciptakan nilai tambah bagi komunitas, karena langsung
dikonsumsi oleh komunitas itu sendiri.
Energi
Rakyat
Makin besar
kapasitas pembangkit yang direncanakan, makin besar modal awalnya, sehingga
makin besar pula hambatan untuk merealisasikannya. Secara kasar biaya bangunan
sipil, mekanikal dan elektrikal PLTMH yang didanai GEF SGP Indonesia berkisar
antara Rp.10.000,- hingga Rp.25.000,- per Watt. Pembangkit berkapasitas 10.000
Watt bernilai Rp.100-250 juta. Dengan asumsi kebutuhan per KK = 100 Watt, maka
investasi yang harus dikeluarkan per KK = Rp.1-2,5 juta.
Investasi
pembangunan pembangkit 1.000 Watt, atau dikenal dengan ‘pikohidro’, secara
kasar Rp.10-25 juta. Mengumpulkan jumlah itu dari 10 KK relatif lebih mudah,
ketimbang menyatukan dulu kesepakatan dari 100 KK. Organisasi pengelolaannya pun
menjadi lebih sederhana. Jika sumberdaya airnya memenuhi syarat untuk
pembangunan banyak pembangkit skala kecil, sistem desentralisasi ini menghemat
kabel distribusi. Dan bila direncanakan dengan baik, maka tidak perlu banyak
mengubah sistem tata air, sehingga lebih kecil pula potensi dampaknya terhadap
lingkungan. Bandingkan dengan pembangunan waduk besar. Walau harga per Watt
listrik yang dihasilkan akan lebih murah, namun potensi dampak lingkungan
maupun sosialnya lebih besar.
Di luar semua
pertimbangan itu, penyebarluasan listrik skala kampung, atau energi secara
umum, tetap terkendala oleh ketersediaannya. Di Vietnam misalnya, generator
pikohidro bisa dibeli di pasar-pasar, semudah membeli generator berbahan bakar
minyak di Indonesia. Kenyataannya, hasil dari pengamatan selama penyusunan buku
ini saja, banyak sekali rumahtangga di pelosok-pelosok yang mampu membeli dan
mengoperasikan genset. Bukan kah itu bukti sebenarnya masyarakat punya daya
beli? Apalagi jika bank, koperasi, credit union, membuat skema kredit
bagi home power system. Tinggal tebar informasi, mungkin dengan stiker
di angkutan perdesaan, atau pasang gambar di bak truk. Dan ... sediakan
barangnya. Biarkan masyarakat mengambil tanggungjawab global memitigasi
pembuangan emisi CO
No comments:
Post a Comment