Friday, March 4, 2016

MODEL PEMANFAATANDAN PELESTARIAN SUMBERDAYA AIR YANG BIJAKSANA



Model Pemanfaatan sekaligus Pelestarian Sumberdaya Air dengan Mikrohidro

           Di Kecamatan Sibolangit  terdapat 12 pembangkit listrik  mikrohidro, yang dibangun secara swadaya oleh warga dan sudah berusia belasan tahun. Proyek yang didanai GEF SGP berlokasi di desa Bukum, di mana ada pembangkit mikrohidro berkekuatan 40 kiloWatt yang memasok kebutuhan listrik warga 3 dusun. Programnya adalah konservasi daerah bantaran sungai Lau Serui, untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air.
      Untuk menyamakan persepsi dengan warga tentang perlunya pelestarian air bagi kelangsungan mikrohidro, Petra dan pengurus mikrohidro mengajak warga melakukan pengamatan di sepanjang bantaran sungai. Mereka menemukan lokasi- lokasi yang rawan longsor sehingga mengancam pasokan air. Demikian pula adanya penebangan hutan di sepanjang bantaran sungai. Dari pemantauan yang dilakukan setiap minggu dalam 4 bulan, terdeteksi penurunan debit air dan pendangkalan.
      Berdasarkan temuan-temuan itu, Petra memfasilitasi warga merumuskan
upaya konservasi yang perlu dilakukan. Pertama penghijauan bantaran sungai Lau Serui dan saluran air yang menuju mikrohidro. Disepakati pemilik lahan di sepanjang bantaran sungai merelakan tanah selebar 15 meter untuk ditanami pohon buah- buahan.Namun ternyata upaya konservasi air tersebut tidak maksimal, karena hulu Lau Serui berada di kabupaten lain, Kabupaten Karo. Daerah hulu ini terancam oleh penebangan hutan dan pengambilan humus tanah.

Energi Skala Kecil

      Sejak 1998 hingga awal 2009, GEF SGP Indonesia telah membantu pendanaan bagi pembangunan tak kurang dari 14 pembangkit listrik mikrohidro di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Seperti terlihat di tabel di halaman selanjutnya, lebih dari setengah pendanaan- pendanaan itu diajukan dan kemudian dibangun di atas tahun 2006. Kenyataan ini secara tidak langsung menggambarkan peta perkembangan pemahaman dan penerapan penggunaan energi alternatif di kalangan


Proyeksi diversifikasi sumber energi
di Indonesia
komunitas kampung serta kelompok-kelompok pendamping masyarakat. Dengan makin banyaknya pemberitaan tentang pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), jumlah proposal ke GEF SGP Indonesia yang melibatkan
pembangunan mikrohidro meningkat cukup signifikan.

Listrik di Desa: Hak dan Kewajiban
Pengembangan pembangkit listrik yang didanai GEF SGP Indonesia selalu dikaitkan dengan pelestarian tata air, ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati. Dengan adanya PLTMH Cibuluh (halaman 19), terbukti mampu memacu semangat masyarakat untuk secara bersama- sama menjaga hutan Cagar Alam Gunung Simpang, Jawa Barat. Begitu pula PLTMH Muluy (halaman 26), yang meningkatkan posisi tawar komunitas dalam rangka mencegah masuknya kepentingan-kepentingan ekstraktif di Kawasan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur.

     Di lain sisi, pemanfaatan sumberdaya air untuk pembangkitan tenaga listrik sebenarnya juga mengandung unsur hak masyarakat setempat. Sama seperti hak atas airbersih serta hak menggunakan air untuk keperluan irigasi pertanian.
    Kepentingan utama masyarakat ialah memperoleh listrik. Sementara pihak kedua, pembangun dan pemberi dana, biasanya punya kepentingan lain. Kalau pihak kedua ini datang dari kelompok pembela konservasi lingkungan hidup, maka ‘pesan’nya bisa seperti tadi, yaitu masyarakat diberi listrik dengan syarat harus melestarikan hutan dan sistem tata air. Atau minimal penguatan kerja kelompok dalam komunitas. Tak jarang pula, terselip kepentingan pemberi dana, umumnya perusahaan, dalam rangka menjalankan tanggungjawab sosial (CSR, corporate social responsibility). Perusahaan sering menarik keuntungan jauh lebih besar dari nilai dana yang disumbangkan. Pertanyaannya, di mana kah batas keseimbangan antara manfaat bagi  masyarakat dengan keuntungan bagi pihak pemberi?
    Ada kelompok pendapat yang mengatakan, masyarakat- masyarakat terpencil di Indonesia masih belum cukup menikmati hak-haknya atas sumberdaya alam, termasuk potensi air untuk listrik. Mereka belum saatnya dilibatkan dalam ‘perjuangan’ untuk menegakkan kesetaraan, menentang kepentingan pemberi dana yang berlebihan.
Berikan saja hak masyarakat untuk menikmati listrik tenaga air, sekali pun pembangunannya membuka kesempatan bagi pemberi dana untuk memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dalam hal peningkatan citra. Yang tidak boleh ditawar adalah hak masyarakat atas informasi. Masyarakat penerima bantuan harus mengetahui sepenuhnya segala keuntungan kerugian bagi dirinya maupun bagi pihak kedua, sebelum seluruh proses dimulai. Dengan prinsip FPIC (free prior informed consent) seperti ini, dapat dicegah dampak perbedaan kepentingan, yang bukan saja dapat membawa perselisihan, namun juga mengancam keberlanjutan inisiatif peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Listrik Mandiri

      Jauh sebelum masa populernya mikrohidro, sebenarnya sudah banyak pembangkit listrik skala kecil yang dibuat sendiri sepenuhnya oleh masyarakat. Mulai dari inisiatif, modal, hingga pembuatan dan pemeliharaan. Namun, dengan penguasaan teknologi yang seadanya, efisiensi dan faktor keselamatan yang diperoleh pada umumnya rendah. Tak sedikit kasus kecelakaan orang tersengat listrik karena sistem kabel yang terbuka, misalnya. Daya yang dihasilkan pun biasanya kecil, dibandingkan dengan potensi tenaga air yang tersedia. Dan bukan saja disebabkan oleh kualitas bahan serta perlengkapan mekanikal elektrikal yang kurang memadai - banyak yang menggunakan dinamo starter mobil, dinamo sepeda motor, hingga motor dengan kumparan gulungan sendiri. Keterbatasan pemahaman atas sistem tata air serta kemungkinan-kemungkinan pengelolaannya, tidak kalah besar berpengaruh pada kapasitas daya yang dapat dibangkitkan, seperti dijelaskan oleh Kusetiadi Raharjo, salah satu pengembang mikrohidro di Bandung.

Tata Konsumsi dan Tata Produksi
      Terlepas dari semua itu, mungkin ini lah bentuk kedaulatan energi. Masyarakat mampu mencukupi sendiri kebutuhannya. Tidak bergantung kepada pihak luar. Akan tetapi, persoalan kembali muncul ketika terjadi perubahan tata konsumsi masyarakat.
Contoh, generator 100 Watt saja sudah dapat memasok listrik bagi 3-4 honai di pedalaman Papua. Yang diperlukan memang hanya masing-masing 1-2 lampu hemat energi 8-15 Watt untuk menerangi interior ruang sekitar 3x5 meter. Ditambah dengan radio, dan kemudian televisi, masih oke. Selain konsumsi dayanya kecil, keduanya adalah sumber informasi, yang sering merupakan kebutuhan paling mendasar yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat terpencil agar dapat meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Namun tak jarang,

     segera lahir pula keinginan untuk punya kulkas. Di sini, peningkatan produktivitas tidak selalu dapat menjawab peningkatan konsumsi. Daya listrik tidak langsung dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas rumahtangga, apalagi komunitas. Produksi es batu atau es krim misalnya, masih harus menghadapi masalah pemasaran. Jika tak ada akses ke luar kampung, maka peningkatan produktivitas takkan menciptakan nilai tambah bagi komunitas, karena langsung dikonsumsi oleh komunitas itu sendiri.

Energi Rakyat

     Makin besar kapasitas pembangkit yang direncanakan, makin besar modal awalnya, sehingga makin besar pula hambatan untuk merealisasikannya. Secara kasar biaya bangunan sipil, mekanikal dan elektrikal PLTMH yang didanai GEF SGP Indonesia berkisar antara Rp.10.000,- hingga Rp.25.000,- per Watt. Pembangkit berkapasitas 10.000 Watt bernilai Rp.100-250 juta. Dengan asumsi kebutuhan per KK = 100 Watt, maka investasi yang harus dikeluarkan per KK = Rp.1-2,5 juta.
     Investasi pembangunan pembangkit 1.000 Watt, atau dikenal dengan ‘pikohidro’, secara kasar Rp.10-25 juta. Mengumpulkan jumlah itu dari 10 KK relatif lebih mudah, ketimbang menyatukan dulu kesepakatan dari 100 KK. Organisasi pengelolaannya pun menjadi lebih sederhana. Jika sumberdaya airnya memenuhi syarat untuk pembangunan banyak pembangkit skala kecil, sistem desentralisasi ini menghemat kabel distribusi. Dan bila direncanakan dengan baik, maka tidak perlu banyak mengubah sistem tata air, sehingga lebih kecil pula potensi dampaknya terhadap lingkungan. Bandingkan dengan pembangunan waduk besar. Walau harga per Watt listrik yang dihasilkan akan lebih murah, namun potensi dampak lingkungan maupun sosialnya lebih besar.
     Di luar semua pertimbangan itu, penyebarluasan listrik skala kampung, atau energi secara umum, tetap terkendala oleh ketersediaannya. Di Vietnam misalnya, generator pikohidro bisa dibeli di pasar-pasar, semudah membeli generator berbahan bakar minyak di Indonesia. Kenyataannya, hasil dari pengamatan selama penyusunan buku ini saja, banyak sekali rumahtangga di pelosok-pelosok yang mampu membeli dan mengoperasikan genset. Bukan kah itu bukti sebenarnya masyarakat punya daya beli? Apalagi jika bank, koperasi, credit union, membuat skema kredit bagi home power system. Tinggal tebar informasi, mungkin dengan stiker di angkutan perdesaan, atau pasang gambar di bak truk. Dan ... sediakan barangnya. Biarkan masyarakat mengambil tanggungjawab global memitigasi pembuangan emisi CO


No comments:

Post a Comment