Gagasan Pertanian Organik
Memulai ternyata bisa lebih sulit ketimbang mempertahankan apa yang telah
dicapai.
Obahing badan lan obahing utek
(olah raga dan olah otak), falsafah yang mendasari keberhasilan warga Dusun
Jetis dalam pengembangan program pertanian dan pekarangan organik, ternyata tak sesederhana itu.
Sedikit orang luar yang berminat mengikuti kisah sukses Jetis. Desa-desa
tetangga pun baru sekadar bertanya- tanya. Beberapa liputan media massa
nasional tentang Cipto Makaryo dengan cepat terlupakan.
Tapi mungkin bukan tuntutan penyesuaian gaya hidup dan cara berfikir,
yang menjadi penyebab lambannya penyebaran gagasan petani Jetis itu ke
komunitas lain. Kunjungan-kunjungan kelompok lain, oleh masyarakat Jetis
dinilai formalitas belaka. Tidak efektif, karena hanya datang dan melihat.
Tidak mencoba sendiri.
Ternyata penyebaran gagasan dengan
cara organik, alami, bisa tidak efektif. Atau mungkin pengertian ‘organik’nya
yang kurang tepat.
Bukankah pertanian organik tidak berarti melarang pupuk dan pestisida
kimia buatan pabrik, lantas menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme alam?
Seperti yang dijalankan masyarakat Jetis, pertanian organik justru penuh
perencanaan dan perhitungan. Mungkin penyebaran gagasan pertanian organik mesti
lebih terencana, antara lain memasukkan strategi (termasuk anggaran) penyebaran
gagasan, sejak perumusan gagasan dan penyusunan proposal.
Ekosistem Agro
Dokumen Indonesia
Biodiversity Strategic and Action Plan (IBSAP, Bappenas, 2003) mencatat, sebagian
besar tanaman pangan budidaya di Indonesia adalah tanaman pendatang. Termasuk
jenis-jenis yang kini sangat umum dijumpai di pelosok-pelosok pedalaman:
jagung, ketela pohon, ubi jalar, kentang, kedele, kacang tanah, cabai, serta
sayur-sayuran dataran tinggi.
Di lain sisi, menurut Vavilov, pengembang
teori tentang tempat asal tanaman budidaya, Indonesia berada di salah satu dari
12 pusat penyebaran spesies tanaman budidaya. Jenis-jenis penting asal dari
sini adalah pisang, kelapa, tebu, jahe-jahean, talas-talasan, dan buah-buahan
tropis.
Dengan keanekaragamannya, lahan budidaya
dapat dipandang sebagai ekosistem tersendiri. Dan di Indonesia menjadi tulang
punggung pembangunan pertanian. PDB sektor
pertanian terus meningkat (Rp. 57.028 miliar tahun 1998 ke Rp.60.020 miliar
2000 atau 15,75% dari PDB nasional. Lebih dari itu, sektor ini melibatkan 21,4
juta rumah tangga di Indonesia (BPS 2001 dalam KLH 2002).
Menurut IBSAP, setiap kawasan dapat
dikembangkan menjadi ekosistem agro yang sesuai dengan budaya, pengetahuan, dan
lingkungan lokal. Bahkan di kawasan lahan kering banyak contoh komunitas dapat
memadukan berbagai jenis tanaman, setahun maupun menahun, sehingga mencukupi
kebutuhan pangan, bahan bangunan, obat-obatan, kayu bakar, hingga uang tunai,
bahkan keindahan dan keteduhan lingkungan.
Pencetakan lahan pertanian menjadi
ekosistem agro, berarti alih fungsi lahan dari jenis-jenis ekosistem yang lain.
Walaupun ekosistem agro dapat memiliki keanekragaman hayati yang cukup tinggi,
pada umumnya terjadi penyusutan dibandingkan dengan ekosistem asalnya.
Pada gilirannya, terjadi pula penyusutan
keanekaragaman hayati pertanian. Salah satu puncaknya adalah ketika terjadi
Revolusi Hijau sejak tahun 1969. Pada awal 1990an, sekitar 70% sawah di
Indonesia hanya ditanami satu varietas padi, yaitu IR64. Monokulturisasi ini
menggusur, bahkan memunahkan banyak varietas padi lokal. Dan juga menimbulkan
kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit, seperti kejadian tahun
1998-1999 yang memusnahkan persawahan IR64.
Introduksi jenis-jenis baru, baik jenis
unggul atau jenis- jenis yang lebih diminati pasar, menimbulkan dampak- dampak
buruk terhadap spesies lokal dan lingkungan. Kecenderungan ini berlangsung
terus hingga sekarang.
No comments:
Post a Comment