Friday, March 4, 2016

PERTANIAN YANG ORGANIK



Gagasan Pertanian Organik
Memulai ternyata bisa lebih  sulit ketimbang mempertahankan apa yang telah dicapai. 


      Obahing badan lan obahing utek (olah raga dan olah otak), falsafah yang mendasari keberhasilan warga Dusun Jetis dalam pengembangan program pertanian dan pekarangan  organik, ternyata tak sesederhana itu. Sedikit orang luar yang berminat mengikuti kisah sukses Jetis. Desa-desa tetangga pun baru sekadar bertanya- tanya. Beberapa liputan media massa nasional tentang Cipto Makaryo dengan cepat terlupakan.
      Tapi mungkin bukan tuntutan penyesuaian gaya hidup dan cara berfikir, yang menjadi penyebab lambannya penyebaran gagasan petani Jetis itu ke komunitas lain. Kunjungan-kunjungan kelompok lain, oleh masyarakat Jetis dinilai formalitas belaka. Tidak efektif, karena hanya datang dan melihat. Tidak mencoba sendiri.
Ternyata penyebaran gagasan dengan cara organik, alami, bisa tidak efektif. Atau mungkin pengertian ‘organik’nya yang kurang tepat.
      Bukankah pertanian organik tidak berarti melarang pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik, lantas menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme alam? Seperti yang dijalankan masyarakat Jetis, pertanian organik justru penuh perencanaan dan perhitungan. Mungkin penyebaran gagasan pertanian organik mesti lebih terencana, antara lain memasukkan strategi (termasuk anggaran) penyebaran gagasan, sejak perumusan gagasan dan penyusunan proposal.

Ekosistem Agro
   Dokumen Indonesia Biodiversity Strategic and Action Plan (IBSAP, Bappenas, 2003) mencatat, sebagian besar tanaman pangan budidaya di Indonesia adalah tanaman pendatang. Termasuk jenis-jenis yang kini sangat umum dijumpai di pelosok-pelosok pedalaman: jagung, ketela pohon, ubi jalar, kentang, kedele, kacang tanah, cabai, serta sayur-sayuran dataran tinggi.
      Di lain sisi, menurut Vavilov, pengembang teori tentang tempat asal tanaman budidaya, Indonesia berada di salah satu dari 12 pusat penyebaran spesies tanaman budidaya. Jenis-jenis penting asal dari sini adalah pisang, kelapa, tebu, jahe-jahean, talas-talasan, dan buah-buahan tropis.
       Dengan keanekaragamannya, lahan budidaya dapat dipandang sebagai ekosistem tersendiri. Dan di Indonesia menjadi tulang punggung pembangunan pertanian. PDB sektor pertanian terus meningkat (Rp. 57.028 miliar tahun 1998 ke Rp.60.020 miliar 2000 atau 15,75% dari PDB nasional. Lebih dari itu, sektor ini melibatkan 21,4 juta rumah tangga di Indonesia (BPS 2001 dalam KLH 2002).
      Menurut IBSAP, setiap kawasan dapat dikembangkan menjadi ekosistem agro yang sesuai dengan budaya, pengetahuan, dan lingkungan lokal. Bahkan di kawasan lahan kering banyak contoh komunitas dapat memadukan berbagai jenis tanaman, setahun maupun menahun, sehingga mencukupi kebutuhan pangan, bahan bangunan, obat-obatan, kayu bakar, hingga uang tunai, bahkan keindahan dan keteduhan lingkungan.
      Pencetakan lahan pertanian menjadi ekosistem agro, berarti alih fungsi lahan dari jenis-jenis ekosistem yang lain. Walaupun ekosistem agro dapat memiliki keanekragaman hayati yang cukup tinggi, pada umumnya terjadi penyusutan dibandingkan dengan ekosistem asalnya.
      Pada gilirannya, terjadi pula penyusutan keanekaragaman hayati pertanian. Salah satu puncaknya adalah ketika terjadi Revolusi Hijau sejak tahun 1969. Pada awal 1990an, sekitar 70% sawah di Indonesia hanya ditanami satu varietas padi, yaitu IR64. Monokulturisasi ini menggusur, bahkan memunahkan banyak varietas padi lokal. Dan juga menimbulkan kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit, seperti kejadian tahun 1998-1999 yang memusnahkan persawahan IR64.
     Introduksi jenis-jenis baru, baik jenis unggul atau jenis- jenis yang lebih diminati pasar, menimbulkan dampak- dampak buruk terhadap spesies lokal dan lingkungan. Kecenderungan ini berlangsung terus hingga sekarang.

No comments:

Post a Comment