Tuesday, March 8, 2016

PERJUANGAN IBU MENTERI SUSI PART 1



Lika-liku Perjuangan Ibu Mentri Kelautan Susi Pujiastuti

     SEBANYAK 30 bus melaju dari Pangandaran dengan tujuan akhir gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Pada 1999 itu, penumpang bus itu hendak berdemo menolak proyek sodetan Sungai Citanduy ke Pantai Pangandaran. Kala itu proyek tinggal selangkah lagi dimulai karena Asian Development Bank (ADB) sudah siap mengucurkan dana. Lahan-lahan sudah dibebaskan Departemen Pekerjaan Umum dan alat-alat berat juga sudah sampai ke Pangandaran.
      Saat masa genting itu, telepon Jeje Wiradinata berdering. Kala itu Jeje adalah anggota DPRD Ciamis, Jawa Barat. Yang mengontak adalah kakak kelas semasa sekolah dasar, Susi Pudjiastuti. “Je, di mana?” “Saya di Ciamis.” “Itu ada pertemuan di Kementerian Lingkungan Hidup. Sudah, ke sana naik pesawat, nanti
kamu tidur di sana.” Jeje, yang kini Wakil Bupati Ciamis, bercerita Susi memang jadi motor penolakan sodetan Citanduy ke Jakarta. “Biaya aksi itu 99 persen dari Ibu (Susi),” ujarnya. Menurut Jeje,
       Susi berorasi di jalanan serta menemui pakar kelautan dan lingkungan hidup demi meminta analisis kerugian proyek sodetan senilai US$ 70 juta itu. Susi dan rombongan juga menggeruduk kantor ADB di Jakarta. Aksi Susi ini tertangkap radar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang mengirimnya ke markas ADB di Manila, Filipina. Bersama jaringan lembaga swadaya masyarakat lainnya di Asia, menurut Direktur Walhi kala itu, Emmy Hafild, Susi minta proyek itu dibatalkan. Sodetan Citanduy dibuat demi mengatasi pendangkalan muaranya di Pantai Segara Anakan, yang mendatangkan banjir di Cilacap, Jawa Tengah.
      Namun ide membuang air dengan sodetan ke Pangandaran bisa mematikan terumbu karang karena airnya jadi payau. Sampah yang terbawa aliran Citanduy juga diprediksi mematikan kawasan wisata di sana. Rusaknya kawasan perairan Pangandaran bakal mengurangi tangkapan ikan, udang, serta lobster oleh nelayan. Itu berarti bisnis Susi yang baru bangkit lagi pun bakal ikut mati karena dia sangat mengandalkan hasil kerja nelayan.
       Saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1997, bisnis ekspor hasil laut dan pabrik peng - o lahan ikan milik Susi morat-marit. Rupa-rupa cara dilakukan Susi buat menyelamatkan usahanya, termasuk menjual semua mobilnya. Pada episode terpuruk itu, yang tersisa hanya mobil minibus Mitsubishi L300. Tapi Susi cuek saja naik mobil itu, bahkan saat bertemu dengan petinggi sekalipun.
       Namun itu rupanya tidak cukup. Tetangga Susi, Slamet, bercerita, saat itu bank mulai menyegel aset-aset Susi di Pangandaran. Tapi krisis yang membuat nilai tukar rupiah merosot itu jadi berkah tersendiri. Susi misalnya mulai menjual ikan layur, yang pada 1990-an itu harganya hanya Rp 700 per kilogram. Karena harga layur murah, nelayan Pangandaran hanya menjadikannya lauk di rumah. Tapi Susi menemukan jalan mengekspornya ke luar negeri, yang laku hingga Rp 12 ribu per kilogram karena tingginya nilai dollar. Untung besar, bisnis Susi tak jadi bangkrut, malah belakangan membeli pesawat buat mengekspor hasil laut.
       Sukses menggagalkan sodetan Citanduy juga mengangkat Susi jadi pengusaha yang dikenal di level nasional. Setelah berhasil mengepakkan sayap bisnisnya dengan maskapai penerbangan Susi Air, ia didapuk ke Dewan Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia dan Ketua Komite Tetap Pengembangan
Kewirausahaan Usaha Kecil-Menengah Kadin Indonesia periode 2004-2010.
     
     

No comments:

Post a Comment