Lika-liku Perjuangan Ibu Mentri Kelautan Susi
Pujiastuti
SEBANYAK 30 bus melaju dari Pangandaran dengan tujuan
akhir gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Pada 1999 itu, penumpang bus itu hendak
berdemo menolak proyek sodetan Sungai Citanduy ke Pantai Pangandaran. Kala itu
proyek tinggal selangkah lagi dimulai karena Asian Development Bank (ADB) sudah
siap mengucurkan dana. Lahan-lahan sudah dibebaskan Departemen Pekerjaan Umum
dan alat-alat berat juga sudah sampai ke Pangandaran.
Saat masa genting itu,
telepon Jeje Wiradinata berdering. Kala itu Jeje adalah anggota DPRD Ciamis,
Jawa Barat. Yang mengontak adalah kakak kelas semasa sekolah dasar, Susi
Pudjiastuti. “Je, di mana?” “Saya di Ciamis.” “Itu ada pertemuan di Kementerian
Lingkungan Hidup. Sudah, ke sana naik pesawat, nanti
kamu tidur di sana.” Jeje, yang kini Wakil Bupati Ciamis, bercerita
Susi memang jadi motor penolakan sodetan Citanduy ke Jakarta. “Biaya aksi itu
99 persen dari Ibu (Susi),” ujarnya. Menurut Jeje,
Susi berorasi di
jalanan serta menemui pakar kelautan dan lingkungan hidup demi meminta analisis
kerugian proyek sodetan senilai US$ 70 juta itu. Susi dan rombongan juga
menggeruduk kantor ADB di Jakarta. Aksi Susi ini tertangkap radar Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang mengirimnya ke markas ADB di Manila,
Filipina. Bersama jaringan lembaga swadaya masyarakat lainnya di Asia, menurut
Direktur Walhi kala itu, Emmy Hafild, Susi minta proyek itu dibatalkan. Sodetan
Citanduy dibuat demi mengatasi pendangkalan muaranya di Pantai Segara Anakan,
yang mendatangkan banjir di Cilacap, Jawa Tengah.
Namun ide membuang air
dengan sodetan ke Pangandaran bisa mematikan terumbu karang karena airnya jadi
payau. Sampah yang terbawa aliran Citanduy juga diprediksi mematikan kawasan
wisata di sana. Rusaknya kawasan perairan Pangandaran bakal mengurangi
tangkapan ikan, udang, serta lobster oleh nelayan. Itu berarti bisnis Susi yang
baru bangkit lagi pun bakal ikut mati karena dia sangat mengandalkan hasil
kerja nelayan.
Saat krisis moneter melanda Indonesia pada
1997, bisnis ekspor hasil laut dan pabrik peng - o lahan ikan milik Susi
morat-marit. Rupa-rupa cara dilakukan Susi buat menyelamatkan usahanya,
termasuk menjual semua mobilnya. Pada episode terpuruk itu, yang tersisa hanya
mobil minibus Mitsubishi L300. Tapi Susi cuek saja naik mobil itu, bahkan saat
bertemu dengan petinggi sekalipun.
Namun itu rupanya tidak
cukup. Tetangga Susi, Slamet, bercerita, saat itu bank mulai menyegel aset-aset
Susi di Pangandaran. Tapi krisis yang membuat nilai tukar rupiah merosot itu
jadi berkah tersendiri. Susi misalnya mulai menjual ikan layur, yang pada
1990-an itu harganya hanya Rp 700 per kilogram. Karena harga layur murah,
nelayan Pangandaran hanya menjadikannya lauk di rumah. Tapi Susi menemukan
jalan mengekspornya ke luar negeri, yang laku hingga Rp 12 ribu per kilogram
karena tingginya nilai dollar. Untung besar, bisnis Susi tak jadi bangkrut,
malah belakangan membeli pesawat buat mengekspor hasil laut.
Sukses menggagalkan
sodetan Citanduy juga mengangkat Susi jadi pengusaha yang dikenal di level
nasional. Setelah berhasil mengepakkan sayap bisnisnya dengan maskapai
penerbangan Susi Air, ia didapuk ke Dewan Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia dan Ketua Komite Tetap Pengembangan
Kewirausahaan Usaha Kecil-Menengah Kadin Indonesia periode
2004-2010.
No comments:
Post a Comment