KISAH PERJALANAN BISNIS SUSI PUJASTUTI
Bakat bisnis Susi sudah terlihat saat
ia remaja. Adik Susi, Fuad Karlan, ingat kakaknya itu su- dah berjualan kue dan
batik saat indekos di Yogyakarta. Putus sekolah saat kelas II SMA, Susi pulang
ke Pangandaran dan mulai berjualan ikan. “Pertamanya jualan ikan ketengan,
sambil jalan, sambil naik sepeda ontel,” kata Fuad Banyak yang mencibir Susi
berdagang ikan keliling. Pasalnya, ia keturunan Kaji Ireng, orang terpandang di
Pangandaran. Namun Fuad, yang sempat berjualan bensin, mengatakan mereka tidak
merasa malu.
Fuad bercerita, Susi pukul tiga pagi berangkat
ke pantai karena nelayan sudah mulai kembali dari melaut. Susi pulang lagi
pukul sembilan malam. Saat membeli ikan di pelelangan itulah Susi bertemu
dengan Yoyok Yudi Suharyo. Pada 1983 itu, Yoyok, yang 12 tahun lebih tua ketim-
bang Susi, adalah jagoan menawar alias “nembak” ikan di pelelangan ikan di
pantai selatan, mulai Cilacap hingga Pelabuhan Ratu. Tahun itu juga mereka
menikah dan sama- sama membeli ikan dari nelayan, lalu menyalurkan ikan ke
perusahaan hasil laut. “Jadi Ibu Susi dilatih sama Mas Yoyok. Dia senior di
sini,” kata pegawai Tempat Pelelangan Ikan Pangandaran, Sunanto, 47 tahun.
Nama Yoyok-Susi saat itu sangat kondang
di pelelangan ikan pantai selatan Jawa Barat, bah- kan hingga ke Cirebon, Jawa
Barat, dan Cilacap, Jawa Tengah. Yoyok ingat, saat itu Susi selalu turun tangan
sendiri mengantar ikan ke peru- sahaan di Surabaya. “Saat hamil sampai kandungan
umur sembilan bulan masih ikut ngawal ikan,” kata Yoyok
Bisnis hasil laut Susi mulai naik level
ketika ia bertemu dengan Rustam Efendy, yang datang ke Pangandaran pada 1986.
Rustam, yang bekerja di perusahaan eksportir hasil laut di Jakarta, ingin
membeli udang dogol kualitas nomor wahid, yang adanya di Pangandaran. Namun
Rustam ditolak di Tempat Pelelangan Ikan Pangandaran karena tidak punya kartu
anggota. Ia dibisiki orang-orang setempat agar minta tolong kepada Susi.
Setelah berembuk, akhirnya kedua perokok berat ini sepakat, Susi yang membeli
di pelelangan, Rustam yang menyiapkan kendaraan pengangkut ke Jakarta.
Bercerai dari Yoyok pada 1988, Susi meneruskan
bisnis ekspor ikan dengan bendera PT Andika Samudera. Para nelayan dan pegawai
pelelangan ikan masih ingat betul setiap hari mereka melihat Susi yang
bercelana pendek datang pada dini hari menaiki sepeda motor trail. Tapi berbeda
dengan dulu saat bersama Yoyok, gaya menawar ikan Susi di pelelangan
perlahan-lahan berubah. Sunanto, yang tahu betul perubahan itu, mengatakan,
belakangan Susi malah sengaja menawar tinggi kalau ada pembeli yang menyebut
harga rendah kepada nelayan.
Wawan, 37 tahun, yang sehari-hari jadi
nelayan di Pangandaran, bahkan sedih jika Susi tidak ada di pelelangan. Kalau
ada Susi, kata
dia, biasanya dia dapat harga yang lebih baik. “Pengusaha mesti
tahu, good price kepada nelayan akan increase (motivasi) mereka
juga untuk nangkap,” kata Susi
Menurut Slamet, yang berkarib dengan
ayah Susi, Karlan, perempuan asli Pangandaran itu memang belakangan tak perlu
bersusah-payah menawar di pelelangan. Susi mengikat nelayan dengan meminjamkan
perahu dan jaring de - n gan syarat semua ikan dijual kepadanya. Tak aneh jika
Susi tak perlu lagi pagi buta datang ke pelelangan seperti saat masih jualan
ikan keliling. Dulu, kata karyawan pelelangan, Ade Mian, 58 tahun, Susi datang
bersama sepuluh karyawan sekitar pukul delapan pagi. Sekarang tinggal karyawan
yang muncul, sang bos jarang kelihatan. Kalaupun Susi berbelanja ke pelelangan,
Fuad melihat kakaknya itu aneh. Dia
memborong lobster kecil dan yang ada telur di perutnya. Semua itu dia lempar
lagi ke laut. Ia juga membuang mobil bekas ke laut, yang bikin orang
Pangandaran heran. Ternyata mobil itu buat rumpon untuk menarik ikan dan udang
beranak-pinak di sana. “Jadi dulu nelayan setiap tiga bulan sekali di-briefing
sama Ibu (Susi),” kata Fuad. Menurut Susi, pengusaha perikanan mesti menjamin
ketersediaan ikan buat ditangkap nelayan. Ia bahkan sengaja menerbangkan ikan
kecil dari pelelangan Pangandaran buat dilepas di perairan Pulau Simeulue,
Aceh.
Ikan- ikan kecil itu naik Susi Air ke Jakarta,
diteruskan dengan pesawat Garuda Indonesia ke Medan, lalu dengan Susi Air lagi
hingga ke Simeulue. Gaya Susi menjadi bos di kantor pun sama tak lazimnya
dengan saat membeli tangkapan nelayan. Setidaknya itu menurut Rustam Efendy,
yang belakangan “dibajak” Susi bekerja di perusahaannya yang berganti nama jadi
PT ASI Marine Product.
Rustam berkali-kali melihat Susi
geregetan jika ada pekerjaan yang belum diselesaikan sehingga mesti turun
tangan sendiri. Bahkan Susi pun tak sungkan mengepel lantai kantor. “Ya Allah…
CEO ngepel, kami yang enggak pernah ngepel mau tidak mau ikut ngepel
juga.” Pada 2004, Susi membuat terobosan baru dalam bisnis ekspor ikannya. Ia
membeli pesawat buat mengangkut ikan dari Pangandaran ke Jakarta. Rustam
menjelaskan mereka mengekspor lobster ke Jepang.
Masalahnya, jumlah tangkapan lobster
itu bergantung pada musim, sementara buat ekspor ke luar negeri harus
mengumpulkan hingga 24 ton. Jika dikirim memakai kapal laut ke Jakarta,
nantinya harus antre lagi di pelabuhan sehingga lobster sudah tidak segar
ketika sampai di negara tujuan. Susi, yang sudah bersama Christian von
Strombeck, yang paham dunia penerbangan, akhirnya menggagas pemakaian pesawat.
“Karena ada pikiran itu, dibelilah pesawat supaya 1 ton bisa berangkat,” kata
Rustam. Dengan pesawat, berapa pun hasil laut yang ada langsung dikirim ke
eksportir besar di Jakarta. “Mutunya beda kalau dikirim sehari sama ditunggu
satu bulan baru kirim,” kata Rustam. Dua pesawat buat mengangkut hasil laut itulah
yang dibawa Susi buat mengantar bantuan ke Aceh, yang baru saja dilanda
gelombang tsunami.
Terbang membawa bantuan ke Meulaboh dan
Pulau Simeulue ini membawa berkah tersendiri buat Susi. Pertama, Susi bisa
masuk dan berbisnis lobster di Simeulue, yang sebelumnya tak terjangkau
pesawatnya karena tak ada perusahaan asuransi yang mau menjamin penerbangan ke
daerah konflik. Berkah kedua dari mengantar bantuan ke korban tsunami Aceh
adalah ide mengubah Susi Air dari pesawat kargo ke maskapai komersial. Ide itu
muncul setelah dua pesawat Susi Air untuk sementara ditaruh di Medan karena
dicarter para relawan serta aktivis lem- baga swadaya masyarakat lokal dan
asing yang hendak masuk Aceh.
Seusai masa tanggap darurat tsunami
itu, Susi mulai merintis rute komersial di sekitar Medan pada 2006 memakai dua
pesawat itu. Perlahan tapi pasti, ia menambah armadanya hingga mencapai 50
pesawat yang melayani 204 rute. Kini Susi Air punya 23 basis operasi di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, hingga Amerika.
Susi
berencana membuka basis baru di Bandara Seletar, Singapura. “It’s a great
company. It’s not perfect, but very beautiful company.” Rekam jejak Susi
Air memang tak sempurna. Rute-rute perintis yang menembus medan berat dengan
landasan seadanya membuat pesawat Susi Air tiga kali jatuh.
Setiap kali ada kecelakaan itu, Susi
biasanya menggelar pengajian di masjid
depan rumahnya.Kini, setelah jadi menteri, Susi melepas posisinya di kedua
sayap bisnis yang mempekerjakan sekitar
800 orang, termasuk 200 ekspatriat yang tersebar di seluruh Indonesia. PT ASI
Marine Product dipercayakan kepada Rustam. Sedangkan Susi Air dititipkan kepada
Mayjen (Purnawirawan) Sudrajat
No comments:
Post a Comment