Tuesday, March 8, 2016

PERJUANGAN IBU MENTERI SUSI PART 2



KISAH PERJALANAN BISNIS SUSI PUJASTUTI

        Bakat bisnis Susi sudah terlihat saat ia remaja. Adik Susi, Fuad Karlan, ingat kakaknya itu su- dah berjualan kue dan batik saat indekos di Yogyakarta. Putus sekolah saat kelas II SMA, Susi pulang ke Pangandaran dan mulai berjualan ikan. “Pertamanya jualan ikan ketengan, sambil jalan, sambil naik sepeda ontel,” kata Fuad Banyak yang mencibir Susi berdagang ikan keliling. Pasalnya, ia keturunan Kaji Ireng, orang terpandang di Pangandaran. Namun Fuad, yang sempat berjualan bensin, mengatakan mereka tidak merasa malu.
        Fuad bercerita, Susi pukul tiga pagi berangkat ke pantai karena nelayan sudah mulai kembali dari melaut. Susi pulang lagi pukul sembilan malam. Saat membeli ikan di pelelangan itulah Susi bertemu dengan Yoyok Yudi Suharyo. Pada 1983 itu, Yoyok, yang 12 tahun lebih tua ketim- bang Susi, adalah jagoan menawar alias “nembak” ikan di pelelangan ikan di pantai selatan, mulai Cilacap hingga Pelabuhan Ratu. Tahun itu juga mereka menikah dan sama- sama membeli ikan dari nelayan, lalu menyalurkan ikan ke perusahaan hasil laut. “Jadi Ibu Susi dilatih sama Mas Yoyok. Dia senior di sini,” kata pegawai Tempat Pelelangan Ikan Pangandaran, Sunanto, 47 tahun.
      Nama Yoyok-Susi saat itu sangat kondang di pelelangan ikan pantai selatan Jawa Barat, bah- kan hingga ke Cirebon, Jawa Barat, dan Cilacap, Jawa Tengah. Yoyok ingat, saat itu Susi selalu turun tangan sendiri mengantar ikan ke peru- sahaan di Surabaya. “Saat hamil sampai kandungan umur sembilan bulan masih ikut ngawal ikan,” kata Yoyok
       Bisnis hasil laut Susi mulai naik level ketika ia bertemu dengan Rustam Efendy, yang datang ke Pangandaran pada 1986. Rustam, yang bekerja di perusahaan eksportir hasil laut di Jakarta, ingin membeli udang dogol kualitas nomor wahid, yang adanya di Pangandaran. Namun Rustam ditolak di Tempat Pelelangan Ikan Pangandaran karena tidak punya kartu anggota. Ia dibisiki orang-orang setempat agar minta tolong kepada Susi. Setelah berembuk, akhirnya kedua perokok berat ini sepakat, Susi yang membeli di pelelangan, Rustam yang menyiapkan kendaraan pengangkut ke Jakarta.
        Bercerai dari Yoyok pada 1988, Susi meneruskan bisnis ekspor ikan dengan bendera PT Andika Samudera. Para nelayan dan pegawai pelelangan ikan masih ingat betul setiap hari mereka melihat Susi yang bercelana pendek datang pada dini hari menaiki sepeda motor trail. Tapi berbeda dengan dulu saat bersama Yoyok, gaya menawar ikan Susi di pelelangan perlahan-lahan berubah. Sunanto, yang tahu betul perubahan itu, mengatakan, belakangan Susi malah sengaja menawar tinggi kalau ada pembeli yang menyebut harga rendah kepada nelayan.
       Wawan, 37 tahun, yang sehari-hari jadi nelayan di Pangandaran, bahkan sedih jika Susi tidak ada di pelelangan. Kalau ada Susi, kata dia, biasanya dia dapat harga yang lebih baik. “Pengusaha mesti tahu, good price kepada nelayan akan increase (motivasi) mereka juga untuk nangkap,” kata Susi
       Menurut Slamet, yang berkarib dengan ayah Susi, Karlan, perempuan asli Pangandaran itu memang belakangan tak perlu bersusah-payah menawar di pelelangan. Susi mengikat nelayan dengan meminjamkan perahu dan jaring de - n gan syarat semua ikan dijual kepadanya. Tak aneh jika Susi tak perlu lagi pagi buta datang ke pelelangan seperti saat masih jualan ikan keliling. Dulu, kata karyawan pelelangan, Ade Mian, 58 tahun, Susi datang bersama sepuluh karyawan sekitar pukul delapan pagi. Sekarang tinggal karyawan yang muncul, sang bos jarang kelihatan. Kalaupun Susi berbelanja ke pelelangan,
       Fuad melihat kakaknya itu aneh. Dia memborong lobster kecil dan yang ada telur di perutnya. Semua itu dia lempar lagi ke laut. Ia juga membuang mobil bekas ke laut, yang bikin orang Pangandaran heran. Ternyata mobil itu buat rumpon untuk menarik ikan dan udang beranak-pinak di sana. “Jadi dulu nelayan setiap tiga bulan sekali di-briefing sama Ibu (Susi),” kata Fuad. Menurut Susi, pengusaha perikanan mesti menjamin ketersediaan ikan buat ditangkap nelayan. Ia bahkan sengaja menerbangkan ikan kecil dari pelelangan Pangandaran buat dilepas di perairan Pulau Simeulue, Aceh.
      Ikan- ikan kecil itu naik Susi Air ke Jakarta, diteruskan dengan pesawat Garuda Indonesia ke Medan, lalu dengan Susi Air lagi hingga ke Simeulue. Gaya Susi menjadi bos di kantor pun sama tak lazimnya dengan saat membeli tangkapan nelayan. Setidaknya itu menurut Rustam Efendy, yang belakangan “dibajak” Susi bekerja di perusahaannya yang berganti nama jadi PT ASI Marine Product.
       Rustam berkali-kali melihat Susi geregetan jika ada pekerjaan yang belum diselesaikan sehingga mesti turun tangan sendiri. Bahkan Susi pun tak sungkan mengepel lantai kantor. “Ya Allah… CEO ngepel, kami yang enggak pernah ngepel mau tidak mau ikut ngepel juga.” Pada 2004, Susi membuat terobosan baru dalam bisnis ekspor ikannya. Ia membeli pesawat buat mengangkut ikan dari Pangandaran ke Jakarta. Rustam menjelaskan mereka mengekspor lobster ke Jepang.
        Masalahnya, jumlah tangkapan lobster itu bergantung pada musim, sementara buat ekspor ke luar negeri harus mengumpulkan hingga 24 ton. Jika dikirim memakai kapal laut ke Jakarta, nantinya harus antre lagi di pelabuhan sehingga lobster sudah tidak segar ketika sampai di negara tujuan. Susi, yang sudah bersama Christian von Strombeck, yang paham dunia penerbangan, akhirnya menggagas pemakaian pesawat. “Karena ada pikiran itu, dibelilah pesawat supaya 1 ton bisa berangkat,” kata Rustam. Dengan pesawat, berapa pun hasil laut yang ada langsung dikirim ke eksportir besar di Jakarta. “Mutunya beda kalau dikirim sehari sama ditunggu satu bulan baru kirim,” kata Rustam. Dua pesawat buat mengangkut hasil laut itulah yang dibawa Susi buat mengantar bantuan ke Aceh, yang baru saja dilanda gelombang tsunami.
        Terbang membawa bantuan ke Meulaboh dan Pulau Simeulue ini membawa berkah tersendiri buat Susi. Pertama, Susi bisa masuk dan berbisnis lobster di Simeulue, yang sebelumnya tak terjangkau pesawatnya karena tak ada perusahaan asuransi yang mau menjamin penerbangan ke daerah konflik. Berkah kedua dari mengantar bantuan ke korban tsunami Aceh adalah ide mengubah Susi Air dari pesawat kargo ke maskapai komersial. Ide itu muncul setelah dua pesawat Susi Air untuk sementara ditaruh di Medan karena dicarter para relawan serta aktivis lem- baga swadaya masyarakat lokal dan asing yang hendak masuk Aceh.
        Seusai masa tanggap darurat tsunami itu, Susi mulai merintis rute komersial di sekitar Medan pada 2006 memakai dua pesawat itu. Perlahan tapi pasti, ia menambah armadanya hingga mencapai 50 pesawat yang melayani 204 rute. Kini Susi Air punya 23 basis operasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Amerika.
Susi berencana membuka basis baru di Bandara Seletar, Singapura. “It’s a great company. It’s not perfect, but very beautiful company.” Rekam jejak Susi Air memang tak sempurna. Rute-rute perintis yang menembus medan berat dengan landasan seadanya membuat pesawat Susi Air tiga kali jatuh.
        Setiap kali ada kecelakaan itu, Susi biasanya menggelar  pengajian di masjid depan rumahnya.Kini, setelah jadi menteri, Susi melepas posisinya di kedua sayap  bisnis yang mempekerjakan sekitar 800 orang, termasuk 200 ekspatriat yang tersebar di seluruh Indonesia. PT ASI Marine Product dipercayakan kepada Rustam. Sedangkan Susi Air dititipkan kepada Mayjen (Purnawirawan) Sudrajat


No comments:

Post a Comment