Wednesday, March 9, 2016

HIKAYAT SANG MENTERI KELAUTAN



Balada Sang Menteri Susi
 Jalan berliku penuh kerikil tajam dilewati Susi Pudjiastuti sehingga sampai pada kesuksesan
     Susi Pudjiastuti adalah legenda tentang perempuan pemberani. Setidaknya begitulah bagi Wawan. Ia menjadi saksi bukti keberanian Susi empat belas tahun lalu. Susi, yang sedang hamil muda, bisa meredam rusuh antara nelayan dan preman. Padahal dua kelompok itu sudah rusuh selama dua hari di Terminal Pangandaran. Pada tahun 2000 itu, ratusan nelayan mengepung terminal. Mereka berteriak-teriak menantang semua preman. Para nelayan menuntut balas setelah seorang nelayan dikeroyok preman. Wawan, yang saat itu masih berusia  23 tahun, ikut bergerombol bersama nelayan. Susi, yang mendapat laporan itu, pun langsung turun tangan, terlebih sudah empat preman tewas. Susi, yang saat itu terkenal sebagai pengusaha ikan, ternyata sangat disegani para nelayan.
      Para nelayan yang sudah mulai beringas dengan mengancam pembakaran kantor polisi, manut saja pada Susi. “Ibu Susi yang meredakan. Padahal tadinya enggak bias reda,” kisah Wawan. Susi bukanlah pengusaha biasa di Pangandaran. Ia merupakan anak ketiga pasangan Haji Karlan dan Suwuh Lasmi, orang kaya di wilayah itu. Saat masih kelas lima sekolah dasar saja Susi sudah diajari menyetir mobil Land Rover sang ayah. Kekayaan orang tua Susi tidak bisa dilepaskan dari garis Haji Ireng. Kakek buyut Susi ini adalah tuan tanah di Pangandaran. Semua warisan Haji Ireng jatuh ke tangan Suwuh karena ia menjadi ahli waris satu-satunya setelah sang adik, Abdullah, meninggal. Semula, Karlan hanya menjadi PNS di Pangandaran. Namun ia pensiun setelah
menikah dengan Suwuh. Ia lantas terjun menjadi pengusaha.
       Karlan sering meminjamkan alat penangkap ikan dan kredit kepada nelayan. Makanya seluruh nelayan gampang akrab dengan Susi. Tak hanya di kalangan nelayan, Karlan juga terkenal di pemerintahan. Slamet, sahabat Karlan, mengungkapkan Karlan turut terjun dalam proyek borongan pemerintah. Ia memenangi tender beberapa proyek, salah satunya pembangunan kantor urusan agama (KUA). Bagi warga Pangandaran, Susi merupakan penjelmaan Karlan. Mereka sangat mirip. Lagak bicara dan kebiasaan Susi menyetir mobil benar-benar mirip Karlan. “Susi memahami cara bapaknya berbincang dengan nelayan sehingga cepat akrab,” tutur Slamet.
      Memiliki nama besar bapak dan moyangnya, Susi tetap tidak mau berpangku tangan. Ia memilih jalan hidup berliku. Sejak remaja, ia tidak mau bergantung pada kekayaan ayahnya. Tahun 1980, Susi melanjutkan sekolah ke SMA 1 Yogyakarta. Fuad menyebutkan kakaknya ingin menempuh sekolah di kota pelajar itu karena memiliki nilai yang bagus di SMP 1 Pangandaran. Karlan sendiri tidak pernah teledor memenuhi kebutuhan hidup anaknya di perantauan. Susi tinggal indekos di dekat sekolahnya. Tempat kosnya itu kini menjadi taman kanak-kanak.
      Namun ia belajar mandiri dengan mulai berdagang apa saja kepada teman-temannya. “Dagangannya macam-macam, dari kaus sampai makanan kecil,” kisah Fuad. Di tengah jalan, ternyata sekolah Susi tidak berlangsung mulus. Ia keluar dari sekolah saat menempuh kelas dua, sekitar tahun 1981. Konon, Susi dikeluarkan karena mendukung aksi golput. “Isunya, ia juga menjual kaus gerakan golput,” kata Fuad. Karyawan PT ASI Marine Production yang akrab dengan Susi menyebutkan bosnya pernah dicari-cari Koramil dan polisi setelah dikeluarkan dari SMA 1 Yogyakarta. “Ibu Susi itu sendiri golput, lo. Sampai dikejar- kejar, dia sempat ditangkap polisi.
      Waktu itu baru keluar dari sekolah, lagi menganggur,” ucap karyawan yang tidak mau disebut namanya itu. Slamet, yang juga guru olahraga Susi di SMP, tidak heran bila Susi berani golput meski zaman Soeharto dilarang. Muridnya tersebut berani berdebat dengan guru. “Dia satu-satunya siswa yang berani bertanya di dalam kelas,” kata Slamet. Wawasan Susi juga luas karena gemar membaca. Bacaannya pun tidak sembarangan: buku-buku sosial, novel, dan filsafat. Namun keterangan resmi dari sekolah itu menyebutkan Susi keluar karena mengundurkan diri, bukan dikeluarkan karena golput. Kepala Sekolah SMA 1 Yogyakarta, Rudy Prakanto, menyebutkan alasan Susi mengundurkan diri kemungkinan karena sering sakit. “Kalau nilainya sendiri normal, ada enam, tujuh, dan bahasa Indonesia dapat delapan, kok,” jelas Rudy.
       Pengakuan guru-guru yang pernah mengajar pada tahun 1980-an menyebutkan Susi sering membawa obat ke sekolah karena keluhan sakit. Pada saat itu Susi jatuh dari tangga tempatnya kos. Kepalanya terbentur dinding hingga ia harus rebah di kamar selama berhari-hari. Orang tuanya lantas menjemputnya untuk pulang. Hanya saja, setelah sembuh, ia tidak mau melanjutkan sekolah. Karlan sangat berang dengan sikap Susi yang tidak mau sekolah lagi. Ia sampai tidak mau berteguran dengan Susi selama hampir setahun.
      Lepas dari sekolah, ia lantas pulang ke Pangandaran. Ia menjalani masa-masa sulit karena menganggur. Daftar kebandelan Susi bertambah. Keterlibatannya menjadi golput di era Orde Baru bukan satu-satunya masalah Susi dengan polisi. Fuad mengaku kakaknya sempat membandel usai keluar SMA. Beberapa polisi pernah bertandang terkait kenakalan yang ia perbuat. Hanya saja Fuad tak mau merincinya.
      Selain itu, kebiasaan Susi mulai bertambah. Ia mulai mengenal rokok. Sejak menginjak bangku SMA, kepulan asap tembakau tidak pernah lepas dari Susi. Orang tuanya sudah berkali-kali memperingatkan, namun tetap saja tak digubris. Untungnya, masa ini tidak lama. Susi mulai meneruskan usaha dagang yang ia pelajari di Yogyakarta, dan dagangannya kini merambah ke alat-alat rumah tangga. Sering keliling Pangandaran dan menyadari tempat kelahirannya itu merupakan penghasil ikan terbesar, Susi pun mulai tertarik berdagang ikan.
      Tahun 1982, ia mulai merambah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pangandaran untuk “menembak” ikan dari nelayan. Usaha ini digelutinya dengan caranya sendiri. Mantan suaminya, Yoyok Yudi Suharyo, mengaku Susi sangat cermat mengawasi pekerjaan. Bahkan ia rela bekerja bersanding dengan pegawainya. “Dia itu orangnya sangat genius, terus dia kelihatannya mendalami, apalagi setelah menikah enggak bisa dicegah dan dilarang. Sampai nyuci udang itu harus sendiri,” jelasnya.
      Bisnis pun berkembang dengan tangan dingin Susi. Kini ia, yang cuma punya ijazah SMP itu, tak hanya berdagang ikan tetapi juga memiliki maskapai penerbangan untuk mengirim hasil laut. Ia makin dihormati nelayan karena menggairahkan pasar ikan. Ia selalu membeli ikan dengan harga tinggi. Tapi, di sela kesibukan bisnisnya itu, Susi ternyata terus melakukan aktivitas nyentrik lainnya. Konon, tahun 1999, ia sengaja pergi ke Bali untuk merajah kakinya.
      Saat itu, Susi baru saja cerai dari suaminya yang kedua, Daniel Kaiser. “Kan dia goyah. Kalian tahu enggak tatonya apa? Itu burung phoenix. Burung itu katanya untuk keberuntungan. Dia bilang, ‘Moga-moga gue hoki kayak burung phoenix,’” kata sumber yang dekat dengan Susi. Gambar hewan yang melambangkan kemujuran itu terpampang jelas di kakinya. Kini ia menjadi satu-satunya anggota Kabinet Kerja Jokowi yang memiliki tato.

No comments:

Post a Comment