Balada Sang Menteri
Susi
Jalan berliku penuh kerikil tajam dilewati Susi Pudjiastuti sehingga sampai pada kesuksesan
Susi Pudjiastuti adalah legenda tentang
perempuan pemberani. Setidaknya begitulah bagi Wawan. Ia menjadi saksi bukti
keberanian Susi empat belas tahun lalu. Susi, yang sedang hamil muda, bisa
meredam rusuh antara nelayan dan preman. Padahal dua kelompok itu sudah rusuh
selama dua hari di Terminal Pangandaran. Pada tahun 2000 itu, ratusan nelayan
mengepung terminal. Mereka berteriak-teriak menantang semua preman. Para
nelayan menuntut balas setelah seorang nelayan dikeroyok preman. Wawan, yang
saat itu masih berusia 23 tahun, ikut
bergerombol bersama nelayan. Susi, yang mendapat laporan itu, pun langsung
turun tangan, terlebih sudah empat preman tewas. Susi, yang saat itu terkenal
sebagai pengusaha ikan, ternyata sangat disegani para nelayan.
Para nelayan yang sudah mulai beringas dengan
mengancam pembakaran kantor polisi, manut saja pada Susi. “Ibu Susi yang
meredakan. Padahal tadinya enggak bias reda,” kisah Wawan. Susi bukanlah
pengusaha biasa di Pangandaran. Ia merupakan anak ketiga pasangan Haji Karlan dan
Suwuh Lasmi, orang kaya di wilayah itu. Saat masih kelas lima sekolah dasar
saja Susi sudah diajari menyetir mobil Land Rover sang ayah. Kekayaan orang tua
Susi tidak bisa dilepaskan dari garis Haji Ireng. Kakek buyut Susi ini adalah
tuan tanah di Pangandaran. Semua warisan Haji Ireng jatuh ke tangan Suwuh
karena ia menjadi ahli waris satu-satunya setelah sang adik, Abdullah,
meninggal. Semula, Karlan hanya menjadi PNS di Pangandaran. Namun ia pensiun
setelah
menikah dengan
Suwuh. Ia lantas terjun menjadi pengusaha.
Karlan sering meminjamkan alat penangkap
ikan dan kredit kepada nelayan. Makanya seluruh nelayan gampang akrab dengan
Susi. Tak hanya di kalangan nelayan, Karlan juga terkenal di pemerintahan.
Slamet, sahabat Karlan, mengungkapkan Karlan turut terjun dalam proyek borongan
pemerintah. Ia memenangi tender beberapa proyek, salah satunya pembangunan
kantor urusan agama (KUA). Bagi warga Pangandaran, Susi merupakan penjelmaan
Karlan. Mereka sangat mirip. Lagak bicara dan kebiasaan Susi menyetir mobil
benar-benar mirip Karlan. “Susi memahami cara bapaknya berbincang dengan
nelayan sehingga cepat akrab,” tutur Slamet.
Memiliki nama besar bapak dan moyangnya,
Susi tetap tidak mau berpangku tangan. Ia memilih jalan hidup berliku. Sejak
remaja, ia tidak mau bergantung pada kekayaan ayahnya. Tahun 1980, Susi
melanjutkan sekolah ke SMA 1 Yogyakarta. Fuad menyebutkan kakaknya ingin
menempuh sekolah di kota pelajar itu karena memiliki nilai yang bagus di SMP 1
Pangandaran. Karlan sendiri tidak pernah teledor memenuhi kebutuhan hidup
anaknya di perantauan. Susi tinggal indekos di dekat sekolahnya. Tempat kosnya
itu kini menjadi taman kanak-kanak.
Namun ia belajar mandiri dengan mulai
berdagang apa saja kepada teman-temannya. “Dagangannya macam-macam, dari kaus
sampai makanan kecil,” kisah Fuad. Di tengah jalan, ternyata sekolah Susi tidak
berlangsung mulus. Ia keluar dari sekolah saat menempuh kelas dua, sekitar
tahun 1981. Konon, Susi dikeluarkan karena mendukung aksi golput. “Isunya, ia
juga menjual kaus gerakan golput,” kata Fuad. Karyawan PT ASI Marine Production
yang akrab dengan Susi menyebutkan bosnya pernah dicari-cari Koramil dan polisi
setelah dikeluarkan dari SMA 1 Yogyakarta. “Ibu Susi itu sendiri golput, lo.
Sampai dikejar- kejar, dia sempat ditangkap polisi.
Waktu itu baru keluar dari sekolah, lagi
menganggur,” ucap karyawan yang tidak mau disebut namanya itu. Slamet, yang
juga guru olahraga Susi di SMP, tidak heran bila Susi berani golput meski zaman
Soeharto dilarang. Muridnya tersebut berani berdebat dengan guru. “Dia
satu-satunya siswa yang berani bertanya di dalam kelas,” kata Slamet. Wawasan
Susi juga luas karena gemar membaca. Bacaannya pun tidak sembarangan: buku-buku
sosial, novel, dan filsafat. Namun keterangan resmi dari sekolah itu menyebutkan
Susi keluar karena mengundurkan diri, bukan dikeluarkan karena golput. Kepala
Sekolah SMA 1 Yogyakarta, Rudy Prakanto, menyebutkan alasan Susi mengundurkan
diri kemungkinan karena sering sakit. “Kalau nilainya sendiri normal, ada enam,
tujuh, dan bahasa Indonesia dapat delapan, kok,” jelas Rudy.
Pengakuan guru-guru yang pernah mengajar
pada tahun 1980-an menyebutkan Susi sering membawa obat ke sekolah karena
keluhan sakit. Pada saat itu Susi jatuh dari tangga tempatnya kos. Kepalanya
terbentur dinding hingga ia harus rebah di kamar selama berhari-hari. Orang
tuanya lantas menjemputnya untuk pulang. Hanya saja, setelah sembuh, ia tidak
mau melanjutkan sekolah. Karlan sangat berang dengan sikap Susi yang tidak mau
sekolah lagi. Ia sampai tidak mau berteguran dengan Susi selama hampir setahun.
Lepas dari sekolah, ia lantas pulang ke
Pangandaran. Ia menjalani masa-masa sulit karena menganggur. Daftar kebandelan
Susi bertambah. Keterlibatannya menjadi golput di era Orde Baru bukan
satu-satunya masalah Susi dengan polisi. Fuad mengaku kakaknya sempat membandel
usai keluar SMA. Beberapa polisi pernah bertandang terkait kenakalan yang ia
perbuat. Hanya saja Fuad tak mau merincinya.
Selain itu, kebiasaan Susi mulai
bertambah. Ia mulai mengenal rokok. Sejak menginjak bangku SMA, kepulan asap
tembakau tidak pernah lepas dari Susi. Orang tuanya sudah berkali-kali
memperingatkan, namun tetap saja tak digubris. Untungnya, masa ini tidak lama.
Susi mulai meneruskan usaha dagang yang ia pelajari di Yogyakarta, dan dagangannya
kini merambah ke alat-alat rumah tangga. Sering keliling Pangandaran dan
menyadari tempat kelahirannya itu merupakan penghasil ikan terbesar, Susi pun
mulai tertarik berdagang ikan.
Tahun 1982, ia mulai merambah Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) Pangandaran untuk “menembak” ikan dari nelayan. Usaha ini
digelutinya dengan caranya sendiri. Mantan suaminya, Yoyok Yudi Suharyo,
mengaku Susi sangat cermat mengawasi pekerjaan. Bahkan ia rela bekerja
bersanding dengan pegawainya. “Dia itu orangnya sangat genius, terus dia
kelihatannya mendalami, apalagi setelah menikah enggak bisa dicegah dan
dilarang. Sampai nyuci udang itu harus sendiri,” jelasnya.
Bisnis pun berkembang dengan tangan dingin
Susi. Kini ia, yang cuma punya ijazah SMP itu, tak hanya berdagang ikan tetapi
juga memiliki maskapai penerbangan untuk mengirim hasil laut. Ia makin
dihormati nelayan karena menggairahkan pasar ikan. Ia selalu membeli ikan
dengan harga tinggi. Tapi, di sela kesibukan bisnisnya itu, Susi ternyata terus
melakukan aktivitas nyentrik lainnya. Konon, tahun 1999, ia sengaja pergi ke
Bali untuk merajah kakinya.
Saat itu, Susi baru saja cerai dari
suaminya yang kedua, Daniel Kaiser. “Kan dia goyah. Kalian tahu enggak tatonya
apa? Itu burung phoenix. Burung itu katanya untuk keberuntungan. Dia
bilang, ‘Moga-moga gue hoki kayak burung phoenix,’” kata sumber
yang dekat dengan Susi. Gambar hewan yang melambangkan kemujuran itu terpampang
jelas di kakinya. Kini ia menjadi satu-satunya anggota Kabinet Kerja Jokowi
yang memiliki tato.
No comments:
Post a Comment