Friday, March 4, 2016

CERITA SEORANG PENGEMUDI KEPRESIDENAN



CERITA SEORANG PENGEMUDI KEPRESIDENAN

PRANTO JAYA MENJADI PENGEMUDI UNTUK DUA PRESIDEN DAN ENAM WAKIL PRESIDEN.
         Banyak orang bisa mengendarai mobil, tapi sopir kepresidenan tentu bisa dihitung dengan jari. Dari yang segelintir itu, Pembantu Letnan Satu (Marinir) Pranto Jaya, 56 tahun, adalah salah satunya. Jaya menjadi sopir kepresidenan sejak 1990. Ia menjadi sopir bagi Wakil Presiden Sudharmono hingga Jusuf Kalla. “Saya cuma mau jadi tentara, enggak pernah bercita-cita jadi sopir VVIP (very very important person),” kata Jaya. Untuk bisa menjadi sopir kepresidenan, ia harus melewati serangkaian tes, mulai psikologi dan mental ideologi di Badan Inteli- jen Strategis hingga keterampilan mengemudi. Tak tanggung-tanggung, sejumlah pembalap kawakan, seperti Tinton Suprapto dan Aswin Bahar, menjadi pelatih sekaligus pengujinya d i Sirkuit Sentul, Bogor. Di sana, lelaki kelahiran Tanjungpinang, Riau, pada 1960 itu dilatih mengemudi zigzag, miring, dan masuk garasi dengan kecepatan tinggi.
        Setiap kali mobil kepresidenan berganti, ia pun harus mengikuti pelatihan lagi. Saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membeli Mercedes-Benz S600 Pullman Guard, misalnya, Jaya mengikuti pelatihan di sebuah perusahaan importir Mercedes di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. “Mestinya pelatihan langsung di Jerman. Tapi, karena anggaran ter- batas, ahli Mercy dari Jerman yang datang ke Jakarta,” ujarnya. Dari pelatihan itulah ia mengetahui keung- gulan S600 Pullman Guard. Dalam radius 1 meter, misalnya, S600 akan berhenti seketika bila mendeteksi logam. Selain itu, S600 menggunakan ban run-flat Michelin PAX 245-700 R470, yang masih bisa digunakan untuk berkendara sejauh 60 kilometer tanpa udara. Juga dilengkapi tangki bahan bakar berkapasitas 90 liter dan sistem pemadam kebakaran otomatis, yang mampu mengunci penyebaran api. Interior mobil dilengkapi perangkat night view assist system untuk memantau situasi di luar ketika kondisi jalan gelap. Perangkat itu berfungsi layaknya sinar inframerah, dengan kemampuan melihat obyek saat cahaya di luar sangat terbatas. “Dengan ban run-flat, kalau dalam perjalanan tiba-tiba terkena benda tajam, kita bisa tetap memacu mobil sejauh 60 kilometer tanpa oleng. Jadi presiden atau wapres enggak perlu pindah ke mobil cadangan,” ujar Jaya.
         Meski selalu diplot untuk mengemudikan mobil wakil presiden, sejak Soeharto lengser pada Mei 1998, Jaya ikut hijrah menjadi pengemudi orang nomor satu di republik ini ketika Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden. Posisi itu bertahan ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggantikan Habibie hampir satu setengah tahun kemudian. “Tapi, pas Ibu Megawati jadi presiden, saya kembali jadi sopir RI-2, Wapres Hamzah Haz,” tuturnya. Saat menjadi pengemudi Hamzah, ia punya kisah tersendiri. Karena situasi Jalan Sudirman- Thamrin, Jakarta, macet parah akibat unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia pada 9 Februari 2004, iring-iringan mobil Hamzah terpaksa menggunakan jalur khusus bus Transjakarta. Tindakan ini rupanya menuai kritik keras di media massa. Menurut Jaya, Hamzah tidak bersalah. Ia
sebagai pengemudi cuma mengikuti arahan polisi di lapangan. Karena ada sekelompok orang berdemonstrasi, iring-iringan mobil itu mesti masuk lajur busway. “Pak Hamzah sih enggak salah karena enggak tahu-menahu. Sudah jadi kebiasaan Pak Hamzah, begitu masuk mobil, dia langsung buka Al-Quran kecil, ngaji,” ujar ayah tiga anak itu. Jaya menaruh hormat tersendiri kepada Hamzah.
        Sebelumnya, saat membawa Presiden B.J. Habibie dan Hasri Ainun, konvoi mobil kepresidenan di Jalan Sudirman nyaris tak bergerak. Saat itu, massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan baru selesai menggelar rapat akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Terjebak di tengah massa yang kurang bersahabat, ang- gota Pasukan Pengamanan Presiden langsung membuat pagar betis di sekitar mobil sambil berlari-lari kecil. Kondisi itu rupanya membuat nyali Ainun ciut. “Tenang saja, Mam. Mobil ini kan antipeluru,” ujar Habibie seperti ditirukan Jaya. Habibie, ia melanjutkan, biasa membuka lap- top begitu masuk kendaraan. Tapi pernah juga ahli pesawat itu mengomentari berbagai unjuk rasa yang dialamatkan kepadanya. “Biarlah, itu karena mereka tak mengerti apa yang saya kerjakan.”
        Lain lagi dengan Gus Dur. Jaya merasa tak punya jarak dengan presiden yang juga seorang kiai itu. Selain suka meminta diputarkan musik klasik Beethoven, Gus Dur gemar mengajak bercakap-cakap, termasuk masalah pribadi. “Gus Dur selalu punya cerita lucu,” ujar Jaya. Tapi, meski menyopiri kiai, ia merasa salatnya jadi kerap tidak khusyuk. Maklum, sang presiden gemar sekali “berjalan-jalan”. “Jadi saya harus selalu siap kalau tiba-tiba harus mengantar beliau,” ujarnya. Presiden Joko Widodo, yang gemar blusukan kata Jaya, niscaya turut merepotkan pengemudi mobil kepresidenan. “Persis kayak Gus Dur yang senang selanang-selonong ke banyak tempat dalam sehari,” kata Jaya. Ia pensiun tahun lalu, setelah menjadi pengemudi Jusuf Kalla, baik sebagai wapres maupun Ketua Umum Palang Merah Indonesia. “Se- waktu Gus Dur wafat, Pak JK enggak sempat melayat karena sedang di Australia. Saya waktu itu ikut nyupirin selama di Australia,” tuturnya bangga.

No comments:

Post a Comment