CERITA
SEORANG PENGEMUDI KEPRESIDENAN
PRANTO JAYA MENJADI
PENGEMUDI UNTUK DUA PRESIDEN DAN ENAM WAKIL PRESIDEN.
Banyak orang bisa mengendarai
mobil, tapi sopir kepresidenan tentu bisa dihitung dengan jari. Dari yang
segelintir itu, Pembantu Letnan Satu (Marinir) Pranto Jaya, 56 tahun, adalah
salah satunya. Jaya menjadi sopir kepresidenan sejak 1990. Ia menjadi sopir
bagi Wakil Presiden Sudharmono hingga Jusuf Kalla. “Saya cuma mau jadi tentara,
enggak pernah bercita-cita jadi sopir VVIP (very very important person),”
kata Jaya. Untuk bisa menjadi sopir kepresidenan, ia harus melewati serangkaian
tes, mulai psikologi dan mental ideologi di Badan Inteli- jen Strategis hingga
keterampilan mengemudi. Tak tanggung-tanggung, sejumlah pembalap kawakan,
seperti Tinton Suprapto dan Aswin Bahar, menjadi pelatih sekaligus pengujinya d
i Sirkuit Sentul, Bogor. Di sana, lelaki kelahiran Tanjungpinang, Riau, pada
1960 itu dilatih mengemudi zigzag, miring, dan masuk garasi dengan kecepatan
tinggi.
Setiap kali mobil kepresidenan
berganti, ia pun harus mengikuti pelatihan lagi. Saat pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono membeli Mercedes-Benz S600 Pullman Guard, misalnya, Jaya
mengikuti pelatihan di sebuah perusahaan importir Mercedes di kawasan Simprug,
Jakarta Selatan. “Mestinya pelatihan langsung di Jerman. Tapi, karena anggaran
ter- batas, ahli Mercy dari Jerman yang datang ke Jakarta,” ujarnya. Dari
pelatihan itulah ia mengetahui keung- gulan S600 Pullman Guard. Dalam radius 1
meter, misalnya, S600 akan berhenti seketika bila mendeteksi logam. Selain itu,
S600 menggunakan ban run-flat Michelin PAX 245-700 R470, yang masih bisa
digunakan untuk berkendara sejauh 60 kilometer tanpa udara. Juga dilengkapi
tangki bahan bakar berkapasitas 90 liter dan sistem pemadam kebakaran otomatis,
yang mampu mengunci penyebaran api. Interior mobil dilengkapi perangkat night
view assist system untuk memantau situasi di luar ketika kondisi jalan gelap.
Perangkat itu berfungsi layaknya sinar inframerah, dengan kemampuan melihat
obyek saat cahaya di luar sangat terbatas. “Dengan ban run-flat, kalau
dalam perjalanan tiba-tiba terkena benda tajam, kita bisa tetap memacu mobil
sejauh 60 kilometer tanpa oleng. Jadi presiden atau wapres enggak perlu pindah
ke mobil cadangan,” ujar Jaya.
Meski selalu diplot untuk mengemudikan
mobil wakil presiden, sejak Soeharto lengser pada Mei 1998, Jaya ikut hijrah
menjadi pengemudi orang nomor satu di republik ini ketika Wakil Presiden B.J.
Habibie menjadi presiden. Posisi itu bertahan ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) menggantikan Habibie hampir satu setengah tahun kemudian. “Tapi, pas Ibu
Megawati jadi presiden, saya kembali jadi sopir RI-2, Wapres Hamzah Haz,”
tuturnya. Saat menjadi pengemudi Hamzah, ia punya kisah tersendiri. Karena
situasi Jalan Sudirman- Thamrin, Jakarta, macet parah akibat unjuk rasa di
Bundaran Hotel Indonesia pada 9 Februari 2004, iring-iringan mobil Hamzah
terpaksa menggunakan jalur khusus bus Transjakarta. Tindakan ini rupanya menuai
kritik keras di media massa. Menurut Jaya, Hamzah tidak bersalah. Ia
sebagai
pengemudi cuma mengikuti arahan polisi di lapangan. Karena ada sekelompok orang
berdemonstrasi, iring-iringan mobil itu mesti masuk lajur busway. “Pak
Hamzah sih enggak salah karena enggak tahu-menahu. Sudah jadi kebiasaan Pak
Hamzah, begitu masuk mobil, dia langsung buka Al-Quran kecil, ngaji,”
ujar ayah tiga anak itu. Jaya menaruh hormat tersendiri kepada Hamzah.
Sebelumnya, saat membawa Presiden B.J.
Habibie dan Hasri Ainun, konvoi mobil kepresidenan di Jalan Sudirman nyaris tak
bergerak. Saat itu, massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan baru selesai
menggelar rapat akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Terjebak di tengah
massa yang kurang bersahabat, ang- gota Pasukan Pengamanan Presiden langsung
membuat pagar betis di sekitar mobil sambil berlari-lari kecil. Kondisi itu
rupanya membuat nyali Ainun ciut. “Tenang saja, Mam. Mobil ini kan antipeluru,”
ujar Habibie seperti ditirukan Jaya. Habibie, ia melanjutkan, biasa membuka
lap- top begitu masuk kendaraan. Tapi pernah juga ahli pesawat itu mengomentari
berbagai unjuk rasa yang dialamatkan kepadanya. “Biarlah, itu karena mereka tak
mengerti apa yang saya kerjakan.”
Lain lagi dengan Gus Dur. Jaya merasa
tak punya jarak dengan presiden yang juga seorang kiai itu. Selain suka meminta
diputarkan musik klasik Beethoven, Gus Dur gemar mengajak bercakap-cakap,
termasuk masalah pribadi. “Gus Dur selalu punya cerita lucu,” ujar Jaya. Tapi,
meski menyopiri kiai, ia merasa salatnya jadi kerap tidak khusyuk. Maklum, sang
presiden gemar sekali “berjalan-jalan”. “Jadi saya harus selalu siap kalau
tiba-tiba harus mengantar beliau,” ujarnya. Presiden Joko Widodo, yang gemar blusukan
kata Jaya, niscaya turut merepotkan pengemudi mobil kepresidenan. “Persis
kayak Gus Dur yang senang selanang-selonong ke banyak tempat dalam sehari,”
kata Jaya. Ia pensiun tahun lalu, setelah menjadi pengemudi Jusuf Kalla, baik
sebagai wapres maupun Ketua Umum Palang Merah Indonesia. “Se- waktu Gus Dur
wafat, Pak JK enggak sempat melayat karena sedang di Australia. Saya waktu itu
ikut nyupirin selama di Australia,” tuturnya bangga.
No comments:
Post a Comment