Tuesday, March 1, 2016

KAMPUNG SUKU BAJO NAN EXCOTICE




MENGUNJUNGI SUKU BAJO
“MUSAI... MUSAI... MUSAI LEPA DIBUSAI. ANNA’ SAMA MA MISSI DAYAH. MA IGAH KAMPOH MA MOLA.”

       Nyanyian itu didendangkan seorang ibu dari suku Bajo saat majalah detik berkunjung ke Mola Raya, Pulau Wangi- wangi, Wakatobi. Artinya kurang-lebih begini: “Mendayung... mendayung dilepas mendayung. Orang Bajo yang sedang memancing ikan. Di pinggir Kampung Mola”. Sambil berdendang, ia terus saja mendayung perahu kecilnya. Irama lagu beriringan dengan tangannya yang sigap mengayuh dayung dari kanan dan kiri. Lagu ini menjadi kebiasaan perempuan Bajo setiap kali mereka bepergian. Entah hanya untuk pergi ke tetangga atau ketika sore untuk menjemput hasil tangkapan suami dari laut. Transportasi utama suku Bajo memang perahu kecil. Mereka menyebutnya dengan lepa kaloko. Tak mengherankan jika suku ini dikenal sebagai sang pengembara laut. Mereka kerap disebut sea gypsy karena saking bergantungnya pada laut. Begitu seorang anak suku Bajo lahir, ia akan besar dan menjadi anak lautan.
       Bukan hal aneh jika tempat tinggal mereka pun di atas air, tepatnya di 1 kilometer dari daratan. Rumah tancap berjejer rapi menghadap laut di atas karang. Menurut catatan perkumpulan resmi suku Bajo, ada 9-10 juta orang suku Bajo di seluruh Asia Tenggara. Penyebaran suku ini ada di 21 provinsi di Indonesia. Jumlah terbanyak memang tinggal di Mola Raya. Namun suku Bajo juga tinggal di sejumlah kawasan, seperti di Pulau Kangean dan Sepetan atau di Sumenep, Jawa Timur. Abdul Manan, satu-satunya orang Bajo yang kini menjadi pejabat di Pemerintah Kabupaten Wakatobi, mengatakan ada 1.200 rumah tancap di Mola Raya. Tiap rumah bisa diisi lebih dari dua keluarga. Ada beragam kearifan lokal suku Bajo yang masih terjaga secara turun-temurun hingga kini. Inilah yang ingin dilestarikan oleh pemerintah setempat. Bekerja sama dengan British Council dan Bank Mandiri, mereka membangun kawasan wisata berbasis etnis Bajo di Mola Raya. Di sini, traveler bisa melihat bagaimana suku ini berinteraksi dengan laut.
       Petualangan dimulai dengan berburu lumba-lumba. Di saat matahari masih tidur, saya sudah menaiki bodi, semacam perahu berukuran sedang khas orang Bajo. Perahu saya bergerak menuju perairan tempat para nelayan mencari tuna. Dari dermaga ke lokasi para nelayan membutuhkan waktu kira-kira 45 menit. Nah, di lokasi itu, di antara laut lepas dan dangkal, serombongan lumba-lumba mulai bermunculan. Mamalia ini menemani nelayan yang sedang mencari tuna. Suku Bajo menamai lumba-lumba dengan  lummu. Bagi mereka, keberadaan lummu ini ternyata juga menjadi penanda untuk hasil tangkapan mereka. Jika para nelayan melihat lummu pakorek (Delphinus delphis) atau lumba-lumba biasa, artinya tangkapan ikan mereka akan berlimpah. Namun, jika nelayan melihat panginta dayah atau lumba-lumba gigi kasar (Steno bredanensis), mereka akan mendapatkan hasil tangkapan sebaliknya. Selepas melihat lumba-lumba, perjalanan
dilanjutkan menuju kawasan tempat tinggal suku Bajo.
      Selama kurang-lebih 3 jam, kami menyusuri rumah-rumah di atas karang. Tidak hanya mengenal sejarah dan tradisi suku ini, saya juga dikenalkan dengan filosofi dan nilai-nilai kehidupan yang diwarisi secara turun-temurun. Saya sempat heran mengapa orang Bajo yang saya temui rata-rata perempuan. Kalaupun ada laki-laki, mereka umumnya masih anak-anak atau belum dewasa. Rupanya para pria suku Bajo masih berada di laut. Mereka baru kembali ke rumah menjelang sore atau malam hari setelah berhasil membawa hasil tangkapan ikan. Selain memasak dan menjaga
anak-anak, para perempuan suku Bajo menjaga kecantikan. Karena cuaca khas pesisir sangat terik, para perempuan di sini biasa memakai barra buas, lulur tradisional Bajo.
         Kurang lengkap rasanya jika saya tak menikmati kuliner khas Bajo. Sehari-hari, mereka tidak memakan nasi sebagai makanan pokok. Mereka punya kasuami sebagai pengganti nasi.Ini adalah makanan pokok orang- orang di Wakatobi dan suku Bajo, yang merupakan hasil olahan dari singkong. Kasuami sangat lezat disantap bersama sup ikan parende. Menjelang sore, saya diajak bersampan keliling permukiman Bajo menggunakan lepa, perahu berukuran kecil hasil buatan masyarakat setempat.
         Sambil menikmati sore dan matahari tenggelam, saya menyusuri pesisir laut sambil mendengarkan bagaimana laut memiliki peran bagi masyarakat, mulai pendidikan,
perikanan, hingga perekonomian masyarakat lokal. Kami diajak melihat bagaimana penduduk memanfaatkan rumah tancap mereka untuk membangun keramba, yang di dalamnya terdapat ikan kerapu, khusus untuk bermain anak. Malam harinya, saya belajar soal rasi bintang yang bermanfaat bagi kehidupan secara turun-temurun. Menurut suku Bajo, rasi bintang juga bisa menentukan waktu untuk mencari jodoh, lo.


No comments:

Post a Comment