Monday, March 14, 2016

KABAR DUKA KEBAKARAN RS MINTOHARJO JAKARTA

       

 Bp. DR Sulistyo, M. Pd
Ketua PGRI, Anggota DPD Jateng

      Kebakaran di RS Mintoharjo, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, menewaskan empat orang. Salah satunya adalah anggota DPD yang sekaligus Ketua Umum PB PGRI, Dr Sulistyo, M.Pd.
Kebakaran tersebut terjadi pada pukul 13.00 WIB dan diakibatkan korsleting listrik. Asap tebal dari korsleting listrik itu menyebabkan empat pasien yang sedang menjalani terapi ozon tewas.
       Berikut ini identitas korban tewas di RS Mintoharjo:
1. Irjen Pol (Purn) Abubakar Nataprawira.
2. Edi Suwandi.
3. Dokter Dimas yang merupakan pendamping dari Edi Suwandi.
4. Dr Sulistyo, M.Pd yang merupakan Ketua Umum PB PGRI dan anggota DPD.
Satu jam setelah kebakaran, jenazah langsung dilarikan ke Kamar Jenazah RS Mintoharjo. Untuk korban luka sendiri langsung dievakuasi ke UGD guna mendapat perawatan intensif.

       Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan mengungkapkan, Ketua Umum PGRI Sulistyo akan dimakamkan di Banjarnegara, Jawatengah.
"‎Jenazah Sulistyo akan dimakamkan di Banjarnegara," kata Anis di Rumah Sakit Al Mintohardjo di Benhil, Jakarta Pusat , Senin (14/3/2016).
      Saat ini, lanjut Anis, keempat jenazah korban telah dibawa ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur guna mendapatkan untuk pengembangan lebih lanjut."Empat jenazah telah di bawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk uji forensik," sambungnya. Anis mengaku tidak melihat secara langsung kondisi para korban akibat kebakaran di RS AL Mintohardjo. Namun, ia mendapatkan informasi bahwa keempat korban mendapatkan luka bakar yang cukup serius.

Sunday, March 13, 2016

AWAS ADA INDIKASI POLITIK UANG DALAM PILKADA BANJARNEGARA

Politik Uang Masih Jadi Ancaman
       Sebagai negara demokrasi, pemilu adalah cara yang terbaik untuk memperoleh mandat dari rakyat termasuk didalamnya pilkada yang merupakan cara dari para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk mendapatkan mandat kepemimpinan dari rakyat dengan menawarkan visi, misi dan program.Pernyataan tersebut disampaikan Bupati Banjarnegara Sutedjo Slamet Utomo pada acara pendidikan politik masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi dan kedewasaan politik dalam menyongsong pemilukada 2017 Banjarnegara di Aula Sasana Bhakti Praja, kemarin
        Pemilukada adalah sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin di daerah dalam kurun waktu 5 tahun mendatang dengan tujuan utama adalah kesejahteraan rakyat demikian ungkap BupatiSutedjo.Lebih lanjut Sutedjo mengatakan dalam penyelenggaraan pemilukada masih banyak ditemui terjadinya pelanggaran-pelanggaran di lapangan dengan pelanggaraan yang menonjol adalah waktu pendaftaran pemilih, politik uang, abuse of power dan manipulasi suara.
        Kepala Kantor Kesbangpollinmas Hery Purwanto mengatakan pendidikan politik masyarakat diharapkan akan membentuk kader politik sebagai agen perubahan kondisi politik yang santun, beradab dan beretika.“Sosialisasi ini adalah upaya untuk meningkatkan wawasan, partisipasi dan kedewasaan politik masyarakat Banjarnegara, terutama generasi muda dan pelajar, khususnya pemilih pemula.
         Dalam rangka menyikapi perkembangan situasi dan kondisi politik,”kata Hery.Hery menambahkan Sosialisasi Pendidikan politik masyarakat juga untuk mempersiapkan masyarakat Banjarnegara dalam menyongsong pemilukada tahun 2017  serta membangun kebersamaan dalam menciptakan kehidupan sosial politik yang sejuk dan meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya pelajar atau pemilih pemula untuk mewujudkan kehidupan sosial politik yang demokratis, sehat dan dinamis.

Thursday, March 10, 2016

KONTROVERSI HATI VICKY



MENCERCA VICKY, MENGOLOK-OLOK DIRI

       Dalamsekejap, akun Twitter Vicky Prasetyo me- narik puluhan ribu pengikut. Meskipun bukan di- buat oleh pemilik asli, akan pembaca temukan gaya bahasa mantan tunangan penyanyi dangdut Zaskia Gotik itu, yang menabrak aturan berbahasa, meng- gunakan susunan bahasa Inggris yang kacau, dan tentu saja menghamburkan kata majemuk yang juga sembarangan. Tak ayal, banyak pemilik akun berbahasa model Vicky, seakan-akan mereka tak pernah melakukan hal serupa. Jelas, bahasa Inggrisnya berantakan, tapi tak pelak penuturnya bermaksud gagah-gagahan. Artinya, siapa pun yang menyelipkan ko- sakata Inggris dalam tuturan bahasa Indonesia, meskipun benar, ia mengalami suasana hati seperti Vicky. Walaupun tidak biasa, sebenarnya kata majemuk, seperti ”kontroversi hati”, yang diungkapkan Vicky masih mungkin dipertahankan, mengingat pembikinan neologisme itu bukan barang baru.
       Tokoh fi lsafat Martin Heidegger adalah salah satu pemikir yang gemar menghadirkan gabungan kosa- kata lama dengan makna baru. Filsuf Jerman ini menghadir- kan kata ada-di seberang (dasein), yang mengandaikan kon- sep fi lsafat eksistensialisme tentang bagaimana setiap indivi- du mewujud secara unik, yang mempunyai makna berbeda dengan susunan kata dalam percakapan sehari-hari dan kamus. Tentu saja, Vicky memerlukan glosari untuk meyakinkan pembaca bahwa istilah yang diperkenalkan bisa dipertanggungjawabkan. Namun ia tidak bisa seenaknya membuat istilah baru dengan meng- ingkari hukum tata bahasa, seperti ”labil eko- nomi”, yang tidak sesuai dengan kaidah DM dalam bahasa Indonesia.
        Tapi rekam jejak Vicky akan menerbitkan keraguan: adakah ia akan mempertanggungjawabkan pemilihan kata tersebut di hadapan publik secara ilmiah? Hiruk-pikuk dan perselisihan penda- pat tentang bahasa Vicky sebenarnya ada- lah cermin dari bahasa khalayak yang acap kacau-balau, baik lisan maupun tulisan. Tentu saja bahasa lisan yang bersifat individual cenderung mengabaikan kaidah, karena ujaran semacam ini kadang bersifat emosional dan kontekstual. Berbeda dengan bahasa tulis: siapa pun akan mencoba mengungkapkannya dengan tertib untuk mengelakkan kesalahpahaman.
      Hanya, mengapa banyak penulis di media massa mempersoalkan perilaku bahasa Vicky yang serampangan, tapi pada saat yang sama mereka melakukan hal yang serupa? Ahmad Baedowi, dalam opini ”Tantangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia” (Media Indonesia, 16 September 2013), mengutip pendapat ahli pendidikan Lickona bahwa di antara tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa adalah penggunaan bahasa yang memburuk. Ia pun membe- ri contoh praktek berbahasa yang buruk, yaitu gaya berujar Vicky.
        Malangnya, dalam sekujur tulisannya, ia tidak bisa mengelak dari penyebutan lema bahasa Inggris, meskipun padanannya dengan mudah ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti integrative, hidden-curriculum, dan direct-word.
       Demikian pula yang terjadi dengan Suhairi Ahmad dalam artikelnya di rubrik Buku Jawa Pos (15 September 2013). Sebenarnya, bahasa itu tidak lebih sebagai alat untuk berkomunikasi. Chuang Tzu (369-286 SM), filsuf Cina, mengumpa- makan bahasa itu seperti jala yang berusaha menangkap ikan di air realitas. Ikan itu sendiri merupakan metafora dari makna, pikiran, dan konsep. Kesalahpahaman akan mudah mun- cul apabila penutur dan mitra tak mengandaikan jala yang sama dalam bertukar maklumat. Betapapun jala itu alat untuk sebuah tujuan, kesalingpahaman sebagai tujuan susah dicapai apabila alat yang digunakan berlubang tembus sehingga ikan dengan mudah terlepas.
        Tentu saja, kita tidak bisa mengelak untuk meminjam kosa- kata dari bahasa asing, mengingat ketidakmemadaian bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan sebagai akibat dari se- makin pesatnya perjumpaan antara manusia sejagat dan per- kembangan teknologi. Namun, sebagai bahasa yang mempunyai aturan, tentu saja ada tata cara dalam penyerapan kata atau istilah. Bagaimanapun, bahasa In- donesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Inggris, sama-sama mengandaikan kaidah yang mapan, meskipun yang terakhir berasal dari banyak bahasa dunia, yaitu Inggris, Romawi, Saksonia, Denmark, dan Norman- dia (Wilkins, 1968: 9-10).
       Ketika penyerapan memungkinkan, ejaan bahasa asal tidak lagi dipakai, dan serapan bahasa sasaran diutamakan. Taat asas berbahasa mengandaikan ke- tertiban berpikir. Apabila seseorang bisa menata kata sesuai dengan aturan, ia tentu te- lah berhasil meletakkan sesuatu di tempatnya. Sama halnya dengan musikus yang baik: ia tidak sekadar menabuh alat musik, tapi juga berusaha agar nada itu tidak sumbang, sehingga enak didengar dan dinik- mati.
       Bayangkan, dalam sebuah opini, seorang penulis menyebut gaya Vicky itu ngawur, yang seharusnya ”mengawur”. Lalu mengapa yang bersangkutan dengan serampangan menuduh orang lain melanggar kaidah kebahasaan? Bukankah perilaku seperti inilah yang diandaikan oleh peribahasa ”menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”

JEJAK CENGKRAMAN POLITIK RATU



CENGKERAMAN PoLITIK RATU
   
 Posisi Atut kian kuat setelah pada 2006 mendapat rekomendasi dari Golkar untuk maju lagi di pemilihan Gubernur Banten. Berpasangan dengan H.M. Masduki, Atut memenangi pemilihan. Sejak itu, Atut meluaskan jaringan kekuasaannya. Ia mendudukkan kerabatnya dalam aneka jabatan politik. Yang pertama diorbitkan Airin Rachmi, dalam pemilihan Bupati Tangerang. Kuasa Atut kian mencengkeram setelah ia bergabung dengan tim sukses pemenangan Aburizal Bakrie dalam Musyawarah Nasional Golkar di Pekanbaru, Riau. Suara Banten saat itu mendua. Kubu pengurus Golkar Banten menyokong Surya Paloh, sedangkan kelompok Atut mendukung Aburizal.
     Setelah Aburizal menang, Atut masuk jajaran elite Beringin. Ia dimasukkan menjadi ketua bidang pemberda- yaan perempuan. Atut membawa suami dan adik_adiknya masuk Golkar melewati ”jalur tol”. Mereka menempati jabatan penting di kepengurusan Golkar Banten. Pada 2009, dalam musyawarah daerah, Atut menyorongkan Hikmat Tomet, suaminya, sebagai ketua menggantikan Mamat Rahayu. Mamat, kini bergabung ke Partai NasDem, dulu menyokong Surya Paloh dalam Musyawarah Nasional Golkar di Riau.
     Tomet kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan duduk di Komisi Infrastruktur merangkap Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Provinsi Banten 2012-2017. Agar posisi Tomet di DPD kuat, Atut juga menempelkan adiknya, Ratu Tatu, sebagai ketua harian. Sebelumnya, Tatu Ketua DPD Golkar Pandeglang. Atut juga menyorongkan Tubagus Chaeri Wardana sebagai Ketua Angkatan Muda Partai Golkar merangkap Bendahara Golkar. Adiknya yang beda ibu, Ratu Lilis Kadarwati, juga dimasukkan sebagai Ketua Golkar Kota Serang.
     Seorang politikus Golkar menyebutkan penguasaan atas posisi kunci partai di tingkat kota hingga provinsi memudahkan keluarga ini memuluskan jejaring kuasanya. Soalnya, rekomendasi pencalonan bupati, wali kota, atau gubernur akan diusulkan dari tingkat bawah hingga pusat. ”Di provinsi sudah ada keluarga, di pusat sudah ada Atut sendiri,” katanya. Jalan mulus tak hanya soal rekomendasi pencalonan kepala daerah, tapi juga pencalonan kursi legislatif.
     Dalam daftar calon legislator yang diumumkan Komisi Pemilu, nama keluarga Atut merajai empat wilayah di Banten. Andika Hazrumy, putra sulung Atut, yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah, membelok menjadi calon legislator Golkar di daerah pemilihan Pandeglang-Lebak. Istri Andika, Ade Rossi Khairunnisa, yang saat ini menjabat Wakil Ketua DPR dari Golkar untuk Kota Serang, mencalonkan diri lagi di daerah yang sama. Anak kedua Atut, Andiara Aprilia Hikmat, kini disiapkan untuk bertarung di kursi DPD Banten. Dia siap menggantikan kakaknya yang pindah ke Golkar.
     Adapun suami Atut kembali bertarung sebagai calon anggota legislatif nomor satu untuk daerah pemilihan Banten 1. Menurut Irsjad, meski rombongan keluarga masuk ”jalan tol”, hubungan Atut dan koleganya tak bermasalah. Atut cukup cakap menjaga hubungan elite Golkar pusat dan daerah. ”Semua happy-happy saja,” ujarnya. Menurut dia, sebelum keluarga Atut mencalonkan diri, partainya sudah menggelar survei internal, yang menyimpulkan mereka sangat populer.

DINASTI CHASAN/RATU ATUT DI BANTEN




DINASTI POLITIK TANAH JAWARA
    Ratu Atut Chosiyah yang juga gubernur Banten masuk menjadi pengurus DPP Golkar. sukses mencengkeramkan kekuasaannya di Banten. Masuk atas rekomendasi Agung Laksono.
     Ratu Atut Chosiyah terus tersenyum ketika melantik Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany. Hari itu, 20 April 2011, Atut mencium pipi kiri-kanan adik iparnya tersebut. Baru kemudian ia menyalami Benyamin Davnie, wakil wali kota pasangan Airin. ”Saya gembira Tangerang Selatan punya pemimpin baru. Sebagai keluarga, pelantikan ini ha- rus disyukuri. Ini anugerah bagi keluarga kami,” katanya seusai pelantikan. Airin adalah istri Tubagus Chaeri War- dana, adik bungsu Atut. Sebelum memenangi pemilihan wali kota, Airin berduet dengan Jazuli Juwaini, politikus Partai Keadilan Sejahtera, mengikuti pemilihan Bupati Tangerang.
     Pasangan ini kalah oleh Ismet Iskandar dan Rano Karno, yang belakangan berpasangan dengan Atut dalam pemilihan Gubernur Banten 2011. Pelantikan Airin menutup rangkaian kegembiraan Atut. Sepanjang Maret dan April tahun itu, ia melantik anggota keluarganya di sejumlah jabatan kepala daerah di Banten. Pada 10 Maret 2011, Atut melantik Heryani sebagai Wakil Bupati Pandeglang. Ibu tiri Atut itu menjadi wakil Erwan Kurtubi. Lima belas hari kemudian, ia melantik Tubagus Haerul Jaman sebagai Wali Kota Serang. Adik tiri Atut itu menggantikan Bunyamin, wali kota yang meninggal. Pada 5 September lalu, Haerul menggandeng Sulhi Choir, Sekretaris Kota Serang, maju lagi dalam pemilihan dan menang.
     Hasil pemilihan itu kini disengketakan di Mahkamah Konstitusi. Pada 2010, Atut melantik adik kandungnya, Ratu Tatu Chasanah, sebagai Wakil Bupati Serang. Ratu Tatu, yang juga pengurus Partai Golkar Provinsi Banten, mendampingi Bupati Taufik Nuriman.
     Lahir sebagai putri sulung Tubagus Chasan Sochib di Ciomas, Serang, Banten, karier politik Atut melambung setelah menjadi Pejabat Pelaksana Gubernur Banten menggantikan Djoko Munandar pada Oktober 2005. Djoko diberhentikan karena terlibat kasus korupsi dana perumahan anggota DPRD Banten. Atut adalah wakil gubernur saat itu. Sejak itu, kekuasaan politik Atut menguat. Ia disokong penuh peran Chasan, jawara di Banten.
     Chasan menjuluki dirinya ”Gubernur Jenderal Banten” karena memiliki peran besar dalam aneka proyek pemerintah. Politikus Golkar asal Banten, Irsjad Djuwaeli, menuturkan peran Chasan begitu kuat dalam menyiapkan Atut, juga anak-anaknya yang lain, dalam panggung po- litik. Chasan memilih Golkar sebagai kendaraan politiknya pada 1999. Irsjad bersama Chasan ikut menuntut pembentukan Provinsi Banten. ”Saya ikut Golkar sejak 1975,” ujar Irsjad, 64 tahun, Kamis pekan lalu.
     Chasan tak pernah menjadi pengurus Golkar. Namun posisinya sebagai Ketua Umum Persatuan Pendekar dan Ketua Umum Satuan Kerja Ulama Seluruh Indonesia membuat pengaruhnya kuat di Golkar. Sebagai jawara dan ulama, ketokohan Chasan dianggap bisa mendulang suara di ujung Pulau Jawa ini.
     Dengan pengaruhnya, Chasan dianggap sukses membawa putri sulungnya tak hanya di pemerintahan, tapi juga di Golkar. Irsjad yakin Chasan melobi para petinggi Golkar di pusat untuk memasukkan Atut ke jajaran petinggi Golkar. Seorang pengurus pusat Partai Beringin berkata, Chasan dan Banten sangat diperhitungkan dalam peta politik Golkar. Apalagi posisi putri sulung Chasan sebagai petinggi Banten saat itu cukup menjadi kunci pengikat. ”Maka kebutuhannya adalah simbiosis mutualisme,” kata seorang ketua Golkar.  
    Dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, 15-20 Desember 2004, Jusuf Kalla, yang terpilih menjadi ketua umum, memasukkan Atut ke kepengurusan 2004-2009. Atut dimasukkan sebagai wakil bendahara umum. Menurut seorang politikus, Atut disorongkan Agung Laksono, yang waktu itu menduduki jabatan Ketua Koordinator Golkar Wilayah Jawa Barat, DKI, dan Banten. Agung membenarkan soal ini.”Dia memang kader yang baik.    Kalau sekarang dia kena masalah, ya, kita tunggu saja masalahnya seperti apa,” ujar Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu. Menurut Irsjad, perempuan pertama

POLITIK DINASTI DI INDONESIA



POLITIK DINASTI DI BANTEN

Undang-undang pemilihan kepala daerah perlu segera direvisi. Membajak demokrasi menuju politik oligarki.

       DI beberapa wilayah, pemilihan kepala daerah telah berubah menjadi ”arisan” keluarga. Suami-istri bergiliran menjadi bupati, mertua-menantu bertukar tempat sebagai wali kota dan wakilnya, adik-kakak serta anak tak ketinggalan memimpin daerah tetangga. Di Banten, kekerabatan politik bahkan mengular hingga ke jabatan legislatif dan yudikatif.
       Praktis, di wilayah mana pun di Banten mudah ditemukan pejabat yang berasal dari keluarga sang Gubernur: Ratu Atut Chosiyah. Konstitusi tentu tak melarang sama sekali setiap orang dari trah mana pun mencalonkan diri. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin setiap warga negara memiliki hak sama dalam berpolitik. Tapi, harus diakui, merebaknya dinasti politik di banyak daerah sudah sangat mencemaskan.
        Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik. Kecemasan muncul bukan hanya karena politik dinasti akan membelokkan demokrasi ke arah oligarki. Menguatnya nepotisme politik juga akan menggerus sumber daya ekonomi daerah, dari yang semula dihajatkan untuk kesejahteraan rakyat menjadi kepentingan privat. Korupsi jelas akan merajalela, kebocoran sumber pendapatan daerah kian menjadi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pun dengan mudah diselewengkan.
        Contoh aktual tentang praktek korupsi ini terjadi pada Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Atut dan suami Wali Kota Tangeran Selatan Airin Rachmi Diany. Wawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar untuk mengatur putusan sengketa pemilihan Bupati Lebak.
        Dalam kasus ini, Atut juga dicegah ke luar negeri. Diduga kasus korupsi yang dilakukan dinasti ini terentang dari penggunaan anggaran hibah untuk bantuan sosial hingga proyek infrastruktur. Nilai penyimpangan anggaran hibah saja ditaksir mencapai Rp 380 miliar. Ini belum termasuk beberapa kasus yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan.
        Dari kasus korupsi di Banten tersebut tampak jelas betapa berbahayanya bila kekuasaan terakumulasi pada sebuah keluarga. Dari satu daerah saja, negara dirugikan hingga ratusan miliar rupiah. Berapa puluh dan bahkan berapa ratus triliun uang yang ludes untuk memperkaya 57 dinasti. Praktek penyalahgunaan kekuasaan yang berpokok pada kekerabatan ini jelas harus diakhiri.
        Politik dinasti yang menjadi penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Orde Baru tak boleh kembali. Pemerintah sebenarnya sudah mengajukan revisi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang layak diapresiasi. Dalam revisi, pasal 70 (p) rancangan undang-undang ini menyebutkan warga negara yang dapat ditetapkan jadi calon bupati/wali kota ada- lah yang tidak punya ikatan perkawinan atau garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur atau bupati/ wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan. Pasal 12 (p) mengatur hal yang sama untuk calon gubernur.
         Dalam rancangan ini jelas kerabat dekat bupati/wali kota dan gubernur tak diperbolehkan maju dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten/kota dan provinsi yang sama. Namun mereka tetap bisa mencalonkan diri di daerah atau provinsi lain. Pemerintah hanya mengusulkan adanya jeda pencalonan bagi keluarga kepala daerah. Jalan lain yang bisa ditempuh adalah menyelenggarakan pemilu serentak.
          Bila pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan bersamaan, siapa pun, termasuk inkumben dan keluarganya, memiliki peluang terbatas ketika mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu jabatan: anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Dengan dua cara ini, para kepala daerah berikut anak, istri, suami, saudara, mertua, dan menantunya tak lagi leluasa menggangsir sumber daya daerah dan membajak demokrasi untuk kepentingan diri sendiri.