MENCERCA
VICKY, MENGOLOK-OLOK DIRI
Dalamsekejap, akun Twitter Vicky
Prasetyo me- narik puluhan ribu pengikut. Meskipun bukan di- buat oleh pemilik
asli, akan pembaca temukan gaya bahasa mantan tunangan penyanyi dangdut Zaskia
Gotik itu, yang menabrak aturan berbahasa, meng- gunakan susunan bahasa Inggris
yang kacau, dan tentu saja menghamburkan kata majemuk yang juga sembarangan.
Tak ayal, banyak pemilik akun berbahasa model Vicky, seakan-akan mereka tak
pernah melakukan hal serupa. Jelas, bahasa Inggrisnya berantakan, tapi tak
pelak penuturnya bermaksud gagah-gagahan. Artinya, siapa pun yang menyelipkan
ko- sakata Inggris dalam tuturan bahasa Indonesia, meskipun benar, ia mengalami
suasana hati seperti Vicky. Walaupun tidak biasa, sebenarnya kata majemuk,
seperti ”kontroversi hati”, yang diungkapkan Vicky masih mungkin dipertahankan,
mengingat pembikinan neologisme itu bukan barang baru.
Tokoh fi lsafat Martin Heidegger adalah
salah satu pemikir yang gemar menghadirkan gabungan kosa- kata lama dengan
makna baru. Filsuf Jerman ini menghadir- kan kata ada-di seberang (dasein),
yang mengandaikan kon- sep fi lsafat eksistensialisme tentang bagaimana setiap
indivi- du mewujud secara unik, yang mempunyai makna berbeda dengan susunan
kata dalam percakapan sehari-hari dan kamus. Tentu saja, Vicky memerlukan
glosari untuk meyakinkan pembaca bahwa istilah yang diperkenalkan bisa
dipertanggungjawabkan. Namun ia tidak bisa seenaknya membuat istilah baru dengan
meng- ingkari hukum tata bahasa, seperti ”labil eko- nomi”, yang tidak sesuai
dengan kaidah DM dalam bahasa Indonesia.
Tapi rekam jejak Vicky akan menerbitkan
keraguan: adakah ia akan mempertanggungjawabkan pemilihan kata tersebut di
hadapan publik secara ilmiah? Hiruk-pikuk dan perselisihan penda- pat tentang
bahasa Vicky sebenarnya ada- lah cermin dari bahasa khalayak yang acap
kacau-balau, baik lisan maupun tulisan. Tentu saja bahasa lisan yang bersifat
individual cenderung mengabaikan kaidah, karena ujaran semacam ini kadang
bersifat emosional dan kontekstual. Berbeda dengan bahasa tulis: siapa pun akan
mencoba mengungkapkannya dengan tertib untuk mengelakkan kesalahpahaman.
Hanya, mengapa banyak penulis di media
massa mempersoalkan perilaku bahasa Vicky yang serampangan, tapi pada saat yang
sama mereka melakukan hal yang serupa? Ahmad Baedowi, dalam opini ”Tantangan
Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia” (Media Indonesia, 16
September 2013), mengutip pendapat ahli pendidikan Lickona bahwa di antara
tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa adalah penggunaan bahasa yang memburuk. Ia
pun membe- ri contoh praktek berbahasa yang buruk, yaitu gaya berujar Vicky.
Malangnya, dalam sekujur tulisannya, ia
tidak bisa mengelak dari penyebutan lema bahasa Inggris, meskipun padanannya
dengan mudah ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti integrative,
hidden-curriculum, dan direct-word.
Demikian pula yang terjadi dengan Suhairi
Ahmad dalam artikelnya di rubrik Buku Jawa Pos (15 September 2013).
Sebenarnya, bahasa itu tidak lebih sebagai alat untuk berkomunikasi. Chuang Tzu
(369-286 SM), filsuf Cina, mengumpa- makan bahasa itu seperti jala yang
berusaha menangkap ikan di air realitas. Ikan itu sendiri merupakan metafora
dari makna, pikiran, dan konsep. Kesalahpahaman akan mudah mun- cul apabila
penutur dan mitra tak mengandaikan jala yang sama dalam bertukar maklumat.
Betapapun jala itu alat untuk sebuah tujuan, kesalingpahaman sebagai tujuan
susah dicapai apabila alat yang digunakan berlubang tembus sehingga ikan dengan
mudah terlepas.
Tentu
saja, kita tidak bisa mengelak untuk meminjam kosa- kata dari bahasa asing,
mengingat ketidakmemadaian bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan sebagai
akibat dari se- makin pesatnya perjumpaan antara manusia sejagat dan per-
kembangan teknologi. Namun, sebagai bahasa yang mempunyai aturan, tentu saja
ada tata cara dalam penyerapan kata atau istilah. Bagaimanapun, bahasa In-
donesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Inggris, sama-sama mengandaikan kaidah
yang mapan, meskipun yang terakhir berasal dari banyak bahasa dunia, yaitu
Inggris, Romawi, Saksonia, Denmark, dan Norman- dia (Wilkins, 1968: 9-10).
Ketika penyerapan memungkinkan, ejaan
bahasa asal tidak lagi dipakai, dan serapan bahasa sasaran diutamakan. Taat
asas berbahasa mengandaikan ke- tertiban berpikir. Apabila seseorang bisa menata
kata sesuai dengan aturan, ia tentu te- lah berhasil meletakkan sesuatu di
tempatnya. Sama halnya dengan musikus yang baik: ia tidak sekadar menabuh alat
musik, tapi juga berusaha agar nada itu tidak sumbang, sehingga enak didengar
dan dinik- mati.
Bayangkan, dalam sebuah opini, seorang
penulis menyebut gaya Vicky itu ngawur, yang seharusnya ”mengawur”. Lalu
mengapa yang bersangkutan dengan serampangan menuduh orang lain melanggar
kaidah kebahasaan? Bukankah perilaku seperti inilah yang diandaikan oleh
peribahasa ”menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”