Friday, March 4, 2016

MEGA PROYEK TANGGUL RAKSAKSA DI TELUK JAKARTA



PROYEK RAKSAKSA
TANGGUL GIANT SEA WALL TELUK JAKARTA

      Tujuan membuat tanggul raksasa di Teluk Jakarta. agar air laut tidak seenaknya menerjang Ibu Kota dan air dari daratan bisa dengan gampang mengalir. Tapi, jika hanya membuat tanggul, pemerintah tidak mendapatkan hasil apa pun. Itu sebabnya, kemudian muncul ide agar tanggul itu juga dijadikan kawasan baru dan diuruk. Biaya juga bisa ditanggung investor reklamasi itu.
      Tanggul laut itu 34 kilometer, terpanjang di dunia. Danau buatan dan lahan reklamasi seluas sekitar 40 ribu hektare tercipta dari dam raksasa itu. Mulai dibangun awal 1990-an, tanggul itu dibuka untuk umum pada 2010. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pekan lalu mengunjungi tanggul raksasa di Korea Selatan bernama Saemangeum itu. Ia ingin menjadikan tanggul di Korea itu sebagai pembanding dengan rencana Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Satu hal langsung dilihat oleh wakil gubernur yang akrab dipanggil Ahok itu. Perbedaan utama tanggul itu dengan Giant Sea Wall adalah konsepnya. Tanggul di Saemangeum hanya untuk penahan ombak, sedangkan Giant Sea Wall di Jakarta juga dimanfaatkan untuk reservoir atau penampungan air tawar. “Beda sekali konsepnya,” kata Ahok. Ide membangun tanggul raksasa datang dari    
        Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Rencana awalnya, tanggul ini dibangun hanya untuk menahan ombak besar dan banjir yang datang dari arah utara Jakarta. Namun, setelah dibahas bersama pemerintah pusat, proyek ini akhirnya berkembang bukan hanya membangun tanggul. “Sekarang lebih dikembangkan,” ujar Bastary Pandji Indra,
       Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemerintah menyebut proyek ini sebagai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Tanggul itu akan disertai reklamasi besar- besaran, menciptakan kota mandiri di sepanjang tanggul. Desain kota mandiri ini berbentuk garuda, burung legenda yang menjadi simbol Indonesia. Proyek NCICD fase pertama adalah pembangunan Giant Sea Wall. Tanggul ini Tukang perahu mencari   
        Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Kawasan  memiliki fungsi ganda. Pertama, air laut tak bisa masuk karena tanggulnya mencapai 6 meter dari permukaan air. Selain itu, tanggul membuat air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak langsung ke laut. Air tawar ini bakal menjadi sumber bahan air baku untuk penduduk Ibu Kota. Kapasitas kolam air tawar ini mencapai 1 miliar meter kubik dengan luas 10 ribu hektare. Air ini diharap cukup untuk memasok kebutuhan warga DKI Jakarta hingga 2080. Pembangunan tanggul ini juga diikuti dengan reklamasi lahan untuk membangun fasilitas MRT sepanjang 11 kilometer dan jalan tol  yang menghubungkan Tangerang dan Bekasi sepanjang 43 kilometer.
        Pembangunan tanggul ini juga disatukan dengan reklamasi 17 pulau di kawasan utara Jakarta seluas 3.000 hektare. Menurut Budi Karya Sumadi, Direktur PT Jakarta Propertindo, badan usaha milik pemerintah Jakarta yang menjadi koordinator reklamasi 17 pulau itu, “Reklamasi itu adalah usulan dari swasta yang dikoordinasi dan sudah ada delapan perusahaan pengembang properti yang menyatakan ikut.” Selain reklamasi 17 pulau dan Giant Sea Wall, nantinya juga dilakukan reklamasi seluas 1.000 hektare di sebelah timur dan seluas 900 hektare di sebelah barat Giant Sea Wall.
       Di sebelah timur Giant Sea Wall, yang mencakup kawasan Cilincing, Marunda, ke arah Tanjung Priok, akan dibangun pusat logistik dan fasilitas pelabuhan laut dalam. Di sebelah barat Giant Sea Wall akan dibangun kawasan komersial, seperti pusat jasa keuangan, jasa perdagangan, dan pariwisata. Proyek reklamasi yang hampir mencapai 5.000 hektare itu diperkirakan menelan biaya lebih dari Rp 250 triliun dan dilaksanakan pihak swasta. Proses reklamasi itu diperkirakan memakan waktu 10-20 tahun. Sedangkan pembangunan Giant Sea Wall dan fasilitas pendukungnya menjadi domain pemerintah.   
        Dengan kata lain, sumber biayanya berasal dari kantong pemerintah. Sumber pembiayaan pembangunan Giant Sea Wall menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah. Sebab, menurut Asisten Pembangunan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wiriyatmoko, anggaran pemerintah daerah, misalnya APBD DKI Jakarta, tidak akan mampu membiayai pembangunan Giant Sea Wall. Selain itu, jika dikombinasikan dengan dana APBN, dikhawatirkan akan memicu masalah karena pembangunan itu hanya untuk kepentingan Kota Jakarta, bukan Indonesia. “Jadi sebaiknya, setelah reklamasi selesai, baru kita ng o m o ngin  soal Giant Sea Wall,” ujarnya. Menurut Wiriyatmoko, pihak swasta yang ikut dalam reklamasi bisa saja diminta terlibat dalam pembangunan Giant Sea Wall, misalnya dengan membentuk konsorsium. Namun keterlibatan swasta ini baru dilakukan setelah mereka sudah balik modal.

No comments:

Post a Comment