KAWASAN
KONSERVASI HUTAN : ASET ATAU BEBAN?
Pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya
hanya dianggap sebagai beban. Hal itu terjadi antara lain karena terlalu
rendahnya penilaian atas manfaat jasa lingkungan. Valuasi ekonomi terhadap
beberapa kawasan konservasi menunjukkan bahwa nilai total bagi perekonomian
jauh melampaui nilai produktif dari jenis pemanfaatan lainnya. Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat misalnya. Perannya dalam kegiatan
pariwisata dan jasa lingkungan, antara lain ketersediaan air bersih untuk
pertanian, industri, dan rumah tangga, serta pengendalian tata air, jika
dirupiahkan, nilainya tak kurang dari 40 miliar rupiah per tahun (Dokumen
IBSAP, 2003). Sedangkan nilai uang yang diperoleh dari penebangan kayu, jika
dilakukan di kawasan itu, dikurangi biaya pengelolaan, tak sampai 30 miliar
rupiah.
Valuasi Ekonomi
Manfaat jasa lingkungan pada
umumnya hanya dinilai dari dua komponen, yaitu nilai konsumtif dan nilai
produktif. Nilai konsumtif adalah manfaat langsung bagi
manusia, terutama pangan, sandang dan papan. Masyarakat Indonesia mengonsumsi
sedikitnya 100 jenis biji-bijian dan ubi-ubian sebagai sumber karbohidrat, 100
jenis kacang-kacangan, 450 spesies buah-buahan, 250 jenis sayuran dan jamur.
Tak kurang dari 940 jenis tumbuhan dimanfaatkan sebagai obat tradisional,
termasuk jenis-jenis liar di hutan. Beberapa jenis tumbuhan obat liar bahkan
telah digunakan sebagai bahan baku obat modern. Untuk keperluan bahan bangunan,
manusia menggunakan lebih dari 100 spesies kayu, 56 jenis bambu, 150 jenis
rotan (KMNLH, 1997).
Nilai
produktif dihitung dari nilai perdagangan. Di Indonesia, produk kehutanan pada
dasawarsa 1970-1980 adalah komoditas penting di luar ekspor migas. Ekspor
produk perikanan tahun 2000 sekitar US$ 2 miliar. Di dalam negeri, produk jamu
olahan tahun 1999 mencapai Rp 200-400 miliar. Produk hutan nonkayu, seperti
terpentin, minyak kayu putih, damar dan sutera, bernilai Rp 41 miliar.
Peningkatan perekonomian yang
diupayakan terhadap masyarakat-masyarakat dampingan mitra-mitra GEF SGP
Indonesia banyak menyangkut nilai konsumtif dan produktif. Misalnya dicapai
dengan melakukan pemanfaatan
sumberdaya alam yang lebih efisien, peningkatan produktifitas lahan,
peningkatan nilai tambah dengan pengolahan pascapanen. Di samping nilai
konsumtif dan nilai produktif,
keanekaragaman hayati memiliki nilai-nilai lain. Walau umumnya sulit
dihitung, nilai-nilai ini sering lebih tinggi dari sekadar nilai konsumtif dan
produktifnya.
Nilai
eksistensi. Salah satu bagian dari nilai eksistensi adalah nilai estetika.
Nilai uangnya sulit dihitung, tapi manfaat psikologisnya mudah dirasakan. Sebab
itu, orang dari negara-negara maju, dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang
sudah tinggi, bersedia menyumbang banyak untuk konservasi. Nilai estetika juga
umumnya mudah dikemas dan dijual sebagai paket wisata. Nilai eksistensi bukan
hanya berkaitan dengan potensi flora fauna tertentu, tapi mencakup hak
hidupnya sebagai bagian dari alam.
Nilai
jasa lingkungan. Keanekaragaman hayati dalam ekosistem memberikan manfaat bagi
ekologi maupun manusia. Hutan melindungi keseimbangan tata air, mencegah erosi,
menjaga kesuburan tanah, dan mengendalikan iklim mikro. Terumbu karang,
mangrove dan padang lamun mencegah abrasi. Hutan mangrove juga menjadi tempat
ikan dan udang memijah. Keanekaragaman hayati di dalam suatu ekosistem menjamin
kelangsungan rantai makanan dan ruang hidup, termasuk jenis-jenis yang menjadi
komoditas manusia. Ekosistem hutan dan laut memiliki kemampuan menyerap karbon,
sehingga sangat penting perannya dalam penanggulangan perubahan iklim.
Nilai
warisan. Masyarakat petani di Gunung Halimun menyisihkan sebagian benih dari
tiap varietas padi, sehingga keragaman varietas padi terjaga secara turun temurun.
Banyak kelompok masyarakat memiliki tradisi menjaga hutan adat, di mana tidak
dilakukan eksploitasi ekstraktif, sehingga ada jaminan ketersediaan sumberdaya
bagi generasi mendatang.
Nilai
pilihan. Baru sedikit spesies tumbuhan dan hewan di dunia yang sekarang
dimanfaatkan oleh manusia. Sebagian lagi belum dimanfaatkan, walaupun sudah
diketahui nilainya. Tapi sebagian besar spesies belum. Bahkan
diperkirakan masih banyak yang belum
teridentifikasi. Jika ada spesies punah sebelum diidentifikasi, mungkin
kerugiannya bagi manusia sangat besar.
Jika nilai warisan, nilai
jasa llingkungan, nilai eksistensi, dan nilai pilihan diperhitungkan sebagai
aset, maka sebenarnya beban yang ditanggung oleh masyarakat dalam rangka
pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati dapat dikurangi. Dengan kata
lain, tidak ada yang harus dikalahkan, kepentingan ekologi atau perekonomian
masyarakat. Contohnya simbiose mutualistis antara masyarakat petani dengan
kawasan konservasi di Taman Nasional Manupeu-Tanadaru), Taman Nasional Meru
Betiri (dan Pegunungan Hyang Argopuro (halaman 27). Masyarakat Tangkahan
memanfaatkan nilai eksistensi Taman Nasional Gunung Leuser dengan menjual paket
wisata alam (halaman 33). PPLH Puntondo memanfaatkannya untuk pendidikan
lingkungan hidup (halaman 34).
Jadi, kawasan konservasi
sebenarnya merupakan aset yang besar. Tantangannya adalah, bagaimana
mengembangkan pola pemanfaatan yang berkelanjutan oleh semua stakeholder. Namun
ada kalanya timbul
persoalan karena terdapat perbedaan cara pandang, antara standar lokal
dengan standar yang diberlakukan oleh stakeholder di luar kawasan yang
bersangkutan, terlebih lagi di tingkat global.
Nilai
pemanfaatan tidak langsung dan non- pemanfaatan adalah prioritas
Penekanan pada konservasi, dengan atau tanpa
pemanfaatan berkelanjutan
Nilai pemanfaatan langsung (nilai konsumtif dan
produktif) lebih atau sama penting
Penekanan pada pemanfaatan berkelanjutan
Spesies endemik dan langka bernilai tinggi Nilai
spesies endemik = spesies lain
Keanekaragaman hayati yang liar dan budidaya
diperlakukan berbeda
Sumber: Dokumen IBSAP
Tak ada batasan perlakuan antara keanekaragaman
hayati liar dan hasil budidaya
No comments:
Post a Comment