Dilema pekerja asing di Indonesia
IndonesIa memang kian menarik bagi pekerja asing. Data Kementerian Tenaga Kerja dan
Trans- migrasi (Kemenakertrans) mencatat pada 2009, jumlah ekspatriat yang
merumput di Indonesia mencapai 59.557 orang. Angka ini membengkak menjadi
77.300 orang pada 2011. Belakangan, makin banyak pos-pos strategis di
perusahaan multinasional yang diisi pekerja asing. Tenaga kerja asing (TKA)
ini, tak hanya menduduki posisi direktur atau konsultan, banyak dari mereka
yang menduduki level di bawah direksi seperti yang terjadi di pabrik manufaktur
di Sukabumi dan Subang, Jawa Barat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
rata-rata mencapai 6% per tahun menjadi satu penyebab. Maraknya investasi
asing, menambah deras aliran TKA ke Indonesia. Undang-Undang membe- narkan
keberadaan TKA se- lama memberikan manfaat bagi tenaga kerja lokal, antara lain
lewat transfer teknologi dan keterampilan. Namun, dalam banyak kasus,
kedatangan TKA justru kontraproduktif. Membuat tenaga lokal hanya menjadi
penonton. Sejumlah kalangan menduga adanya TKA yang ma- suk secara ilegal,
dengan memanfaatkan lemahnya pengawasan di Indonesia. Pasalnya untuk mendatang-
kan seorang tenaga kerja asing tidaklah murah. Untuk merekrut seorang TKA
dibutuhkan biaya hingga Rp 150 juta. Bahkan muncul dugaan adanya ‘mafia’, baik
dari dalam negeri maupun negeri asal pekerja. “Kalau seperti itu kan sayang
sekali, apalagi kalau kualitasnya enggak jelas. Jangan sampai orang asing yang
di sini adalah orang yang tidak kompeten,” cetus Sekjen Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Rusdi.
Fakta bahwa 44% TKA mencari kerja
sendiri, bukan atas penugasan perusahaan sebagaimana diungkap survei Bank
Indonesia pada 2009, menunjukkan Indo- nesia memang menjadi impian pekerja
asing. Untuk itu pemerintah diminta ketat mengawasi masuknya tenaga kerja
asing. Apalagi di saat angka pengangguran terus bertambah. Pengawasan dinilai
masih lemah, tetapi memang kebijakan ini tak terlepas dari kepemilikan modal
yang sebagian dimiliki asing. Walaupun seha- rusnya perusahaan asing
menghormati peraturan di Indonesia. “Kalau satu atau dua orang enggak masalah,
tapi kalau sampai ratusan orang seperti di Indosat itu tidak benar,” tegasnya.
Apa yang diterapkan pemerintah Cina dan India, bisa dijadikan contoh. Di sana
tenaga asing digunakan hanya jika memang tidak ada tenaga lokal yang memenuhi
kualifikasi.
Kemenakertrans yang bertanggung jawab atas
‘serbuan’ pekerja asing ini mengaku sudah serius me- nyaring tenaga asing yang
masuk ke Indonesia. “Kita sudah sistem online untuk perizinan tenaga kerja asing dengan
kualifikasi-kualifikasi tertentu. Jika tidak sesuai ketentuan, otomatis akan
ditolak,” ujar Menakertrans, Muhaimin Iskandar. Permenakertrans No. 40/2012,
mengatur ada 19 posisi yang ‘haram’ diisi pekerja asing, antara lain untuk
perkantoran administrasi dan manajemen SDM. Sementara untuk tenaga ahli dan
direksi masih dimungkinkan. Aturan ini diklaim efektif membendung serbuan
pekerja asing, sehingga aliran TKA ke Indonesia mulai berkurang. Hingga
September 2012 tercatat hanya 57.828 pekerja yang masuk. Soal kesenjangan gaji
serta perbedaan perlakuan, Muhaimin mengaku itu di luar kewenangannya. “Jika
memang posisinya berbeda, ya wajar kalau gajinya berbeda,” tukasnya.
Perbandingan
gaji pekerja asing dengan pekerja lokal
Profesional asing mulai
menyerbu Indonesia sejak awal 2007. Sebelum 2007, pekerja asing di Indonesia
didominasi oleh konsultan, meski belakangan bergeser ke jabatan
profesional. Pergeseran ini diduga
karena pada awalnya perusahaan lebih banyak menggunakan pekerja asing sebagai
konsultan, baik sebagai konsultan manajemen, finansial, SDM hingga konsultan
teknologi. Perkembangan pengetahuan dan teknologi, membuat kebutuhan tenaga
ahli di bidang yang selama ini ditangani oleh konsultan terus berkembang.
Kehadiran permanen seorang yang ahli pun
kian dibutuhkan, sehingga para konsultan itu diangkat menjadi tenaga kerja.
Pada 2011 TKA di Indonesia didominasi pekerja asal Cina (16.149 orang). Disusul
Jepang (10.927), Korea Selatan (6.520), India (4.991), Malaysia (4.957),
Amerika Serikat (4.425), Thailand (3.868), Australia (3.828), dan Filipina
(3.820). Sebagian besar TKA itu adalah tenaga kerja profesional (34.763 orang),
disusul konsultan (12.761 orang). Sedangkan di level direktur tercatat ada
6.511 orang.
Para ekspatriat itu tersebar di sector pariwisata,
keuangan dan perbankan, perhubungan dan telekomunikasi. Rata-rata mereka
dikontrak se- lama satu hingga tiga tahun. Tingginya pekerja asing asal Cina,
Korea dan Jepang tak lepas dari tingginya investasi dari negara-negara itu di
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia da- lam beberapa tahun terakhir,
khususnya di sektor ke- uangan/pasar modal juga menjadi alasan kedatangan para
pekerja asing itu. Penasaran berapa besar gaji mereka?
Survei TKA yang dilakukan BI pada 2009,
menyebut mayoritas pekerja profesional asing digaji antara Rp 25 juta hingga Rp
50 juta per bulan. Selain gaji reguler, mereka juga menerima tunjangan jabatan
antara Rp 10 juta hingga Rp 25 juta per bulan dan sejumlah fasilitas lainnya.
Sedangkan untuk level direktur digaji minimal Rp 50 juta hingga ratusan
juta rupiah. Plus tunjangan yang jumlahnya bisa lebih dari Rp 50 juta. Kontras
memang dengan perlakuan terhadap pe- kerja lokal yang untuk mendapat status
kontrak pun harus berjuang, apalagi mendapatkan upah yang layak. Bahkan untuk
pekerja profesional sekalipun, pekerja lokal masih dianggap lebih rendah
dibanding pekerja asing.
No comments:
Post a Comment