PRABOWO
GAYA dan KISAH KEPEMIMPINANYA
Mantan Prajurit
TNI yang sangat berprestasi
Makan siang
para purnawirawan jenderal itu begitu meriah. Riuh tawa menghiasi suasana makan
siang di sebuah kantor pencakar langit di Jakarta itu. Hidangan sudah tersaji
lengkap. Ada ikan balado, sate ayam, perkedel jagung, sop kacang merah, dan
sayur bunga pepaya, dilengkapi dengan kerupuk. Disela-sela makan, berbagai cerita
tempo dulu terlontar bersahut-sahutan. Segala cerita kala bertugas sebagai
anggota TNI, mulai dari menu makan di barak, kejadian-kejadian saat bertugas
hingga pengalaman para jenderal senior itu ketika menghadapi Prabowo, adik
kelas mereka. “Halida Hatta terlihat semakin segar ya setelah ke luar dari
Gerindra,” ucap seorang jenderal memulai obrolan soal Prabowo. Dari obrolan
mengenai Halida yang meninggalkan jabatannya sebagai Wakil Ketua Umum Gerindra,
obrolan tentang Prabowo pun terus mengalir.
Pada awal Oktober 2012 itu, memang
tengah ramai berita putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo membatalkan
deklarasi pencapresan dirinya. Perbincangan semakin panas. Para purnawirawan
jenderal itu semakin kritis menguliti Prabowo. Mereka rupanya tidak mau
mendukung Prabowo sebagai ca- pres. Para purnawirawan itu menilai gaya kepemim-
pinan Prabowo buruk dan pribadinya yang emosional tidak memenuhi syarat sebagai
seorang presiden. “Siapapun calonnya, itu tidak masalah asalkan jangan dia,”
kata jenderal mantan pejabat itu.
Prabowo pernah dikenal sebagai the
brightest star, bintang paling bersinar di jajaran militer Indonesia.
Prabowo lulus dari Akabri pada 1974. Kariernya dimulai ketika pada 1976
dipercaya sebagai Komandan Peleton Para Komando Grup I Komando Pasukan Sandhi
Yudha (Kopassandha) dan ditugaskan sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di
Timor Timur. Pada bulan Desember 1978, Prabowo yang sudah berpangkat Kapten,
memimpin pasukan Den 28 Kopassus yang ditugaskan untuk membunuh pendiri dan
wakil ketua Fretilin, yang pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri
pertama Timor Leste, Nicolau dos Reis Lobato. Lobato tewas setelah tertembak di
perut saat bertempur di lembah Mindelo, pada tanggal 31 Desember 1978.
Karena prestasi ini, Prabowo
mendapatkan kenaikan pangkat. Setelah kembali dari Timor Timur, karier militer
Prabowo terus melejit. Pada tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai Wakil
Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teroris (Gultor) Komando Pasukan Khusus
TNI AD (Kopassus). Setelah menyelesaikan pelatihan “Special Forces Officer
Course” di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggung jawab sebagai
Komandan Batalion Infanteri Lintas Udara.
Salah satu pencapaian Prabowo saat
menjadi pimpinan Kopassus adalah Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma pada
1996. Saat itu, 12 peneliti disekap oleh Organisasi Papua Merdeka. Operasi ini
berhasil menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspedisi Lorentz ‘95 yang
disekap oleh Organisasi Papua Merdeka. Lima orang yang disandera adalah
peneliti biologi asal Indonesia, sedangkan tujuh sandera lainnya adalah
peneliti dari Inggris, Belanda dan Jerman. Sejarah mencatat, karier 24 tahun
dalam dinas militer tidak sekadar mengantarkan Prabowo menjadi jenderal
berbintang tiga. Ia pun menjadi bintang paling bersinar di jajaran militer
Indonesia. Dialah jenderal termuda yang meraih tiga bintang pada usia 46 tahun.
Ia juga dikenal cerdas dan berpengaruh, seiring dengan penempatannya sebagai
penyandang tongkat komando di pos-pos strategis TNI AD. Namun karier cemerlang
Prabowo berakhir begitu Soeharto lengser dari Presiden.
Sehari setelah sang mantan mertua
mundur, pada 21 Mei 1998, Prabowo pun ikut digusur. Ia bahkan dipersalahkan
sebagai dalang penulikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis
pro-Reformasi yang menuntut Soeharto mundur pada 1997.
“Peradilan DKP (Dewan Kehormatan Perwira) menjelaskan
Prabowo yang memerintahkan penculikan,” jelas Mugiyanto. Pada Agustus 1998, DKP
yang beranggotakan Wiranto, SBY, Fachrul Razi dan Subagyo HS, memang
menyatakan Prabowo bersalah dalam menafsirkan perintah. Prabowo pun kemudian
dipecat. “Kan waktu itu sudah ada DKP, dia dipecat,” kata Koordinator Kontras
Haris Azhar.
Setelah pensiun dini dari TNI, Prabowo
coba meraih kesuksesan di jalan politik. Setelah lama menghilang, sejak
reformasi 1998, Ia kemudian mendirikan Partai Gerindra pada 2008. Sayang, nama
besarnya tidak mampu mengangkat partai yang telah dibangun dengan dana yang
tidak sedikit itu. Bahkan belakangan banyak pengurusnya yang hengkang dari
partai itu. Isunya, mereka kecewa berat dengan gaya kepemimpinan Prabowo yang
otoriter.
Salah satu tokoh yang mengundurkan
diri itu adalah Halida Hatta. Rumor menyebut, Halida hengkang dari Gerindra
pada Juli 2012 karena sudah tidak kerasan dengan sistem kepengurusan partai itu
yang kacau balau. Seorang sumber yang mengenal Halida menutur- kan, putri Bung Hatta
ini kecewa pada Prabowo. Ha- lida berhasil memperoleh suara signifikan di
daerah pemilihannya, DKI Jakarta II, tapi partai tidak mem- perjuangkan atas
apa yang diperolehnya. Namun saat dikonfirmasi, Halida memberi alasan yang
berbeda. “Saya harus membuat pilihan antara sebagai profesional atau
berkecimpung sebagai akti- vis politik dan saya memilih sebagai profesional,”
kata Halida
Sejumlah pengurus partai di daerah
mengeluhkan kepengurusan partai yang sering berganti secara mendadak, tanpa
melalui rapat kerja atau forum resmi partai. Sebab semua keputusan partai ada
di tangan Prabowo seorang. Soal putusan sepihak Prabowo yang otoriter sempat
dikeluhkan Muhammad Harris Indra, mantan Ketua Bidang Pertahanan DPP Gerindra,
lewat surat terbukanya beberapa waktu lalu. Protes yang dilayangkan Indra
terkait pemberhentian Fami Fachrudin, Ketua Bidang Ilmu Pengetahuan DPP Partai
Gerindra oleh Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Pemberhentian Fami dinilai Harris sebagai tragedi demokrasi di Gerindra. “Kami
ingin meng- abdi kepada Republik, melalui ide dan gagasan Prabowo. Namun jika
Prabowo menyelingkuhi ide dan gagasannya sendiri, maka kita patut untuk
mengoreksi kekeliruan itu, dan bukan untuk mendiamkan,” ujar Harris dalam surat
protes
Bagi kalangan TNI, sikap Prabowo
yang otoriter dan sekehendak hati bukan hal yang baru. seorang purnawirawan
TNI, yang enggan namanya disebut, mengatakan, sejak masih berdinas di TNI,
sikap Prabowo yang seperti itu sering dilakukan. “Biasa. Malah dia merusak
sistem menurut saya,” ujarnya. Sumber itu memberi contoh, saat Prabowo jadi Komandan
Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus), jumlah personel pasukan
elite itu mengalami pengurangan. Mengingat beban anggaran saat itu, personel
Kopassus yang sebelumnya berjumlah 5.000 personel dipangkas separuhnya, jadi
2.500 personel, tetapi anggarannya tidak dikurangi. Namun ketika Prabowo
menjabat tanpa koordinasi dengan institusi dan senior-seniornya, jumlah personel
dibesarkan lagi. Semua petinggi TNI tidak bisa berbuat banyak lantaran
Prabowo adalah menantu Soeharto, presiden yang juga sebagai panglima tertinggi
TNI.
Pengamat politik Universitas
Indonesia (UI), Arbi Sanit juga menilai Prabowo sebagai sosok yang tidak stabil
dan gampang meledak sehingga tidak cocok sebagai pemimpin. “Dia bisa
meledak-ledak, enggak bisa sabar meng- hadapi krtitik, enggak ada jaminan
telaten menghadapi perbedaan, kritik dan kontroversi, bagaimana dalam demokrasi
orang seperti itu mendapat kepercayaan?” kritik Arbi. Tudingan Prabowo
merupakan sosok yang otoriter dibantah Ketua Umum Partai Gerindra,
Suhardi. Pemecatan terhadap pengurus partai tidak pernah dilakukan secara
sewenang-wenang. “Saya kira tidak (sewenang-wenang). Walaupun tentu saja
hampir semua orang yang diganti tidak puas, merasa tidak bersalah,” kata
Suhardi
Pada awal Oktober 2012 itu, memang
tengah ramai berita putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo membatalkan
deklarasi pencapresan dirinya. Perbincangan semakin panas. Para purnawirawan
jenderal itu semakin kritis menguliti Prabowo. Mereka rupanya tidak mau
mendukung Prabowo sebagai ca- pres. Para purnawirawan itu menilai gaya kepemim-
pinan Prabowo buruk dan pribadinya yang emosional tidak memenuhi syarat sebagai
seorang presiden. “Siapapun calonnya, itu tidak masalah asalkan jangan dia,”
kata jenderal mantan pejabat itu.
Prabowo pernah dikenal sebagai the
brightest star, bintang paling bersinar di jajaran militer Indonesia.
Prabowo lulus dari Akabri pada 1974. Kariernya dimulai ketika pada 1976
dipercaya sebagai Komandan Peleton Para Komando Grup I Komando Pasukan Sandhi
Yudha (Kopassandha) dan ditugaskan sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di
Timor Timur. Pada bulan Desember 1978, Prabowo yang sudah berpangkat Kapten,
memimpin pasukan Den 28 Kopassus yang ditugaskan untuk membunuh pendiri dan
wakil ketua Fretilin, yang pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri
pertama Timor Leste, Nicolau dos Reis Lobato. Lobato tewas setelah tertembak di
perut saat bertempur di lembah Mindelo, pada tanggal 31 Desember 1978.
Karena prestasi ini, Prabowo
mendapatkan kenaikan pangkat. Setelah kembali dari Timor Timur, karier militer
Prabowo terus melejit. Pada tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai Wakil
Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teroris (Gultor) Komando Pasukan Khusus
TNI AD (Kopassus). Setelah menyelesaikan pelatihan “Special Forces Officer
Course” di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggung jawab sebagai
Komandan Batalion Infanteri Lintas Udara.
Salah satu pencapaian Prabowo saat
menjadi pimpinan Kopassus adalah Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma pada
1996. Saat itu, 12 peneliti disekap oleh Organisasi Papua Merdeka. Operasi ini
berhasil menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspedisi Lorentz ‘95 yang
disekap oleh Organisasi Papua Merdeka. Lima orang yang disandera adalah
peneliti biologi asal Indonesia, sedangkan tujuh sandera lainnya adalah
peneliti dari Inggris, Belanda dan Jerman. Sejarah mencatat, karier 24 tahun
dalam dinas militer tidak sekadar mengantarkan Prabowo menjadi jenderal
berbintang tiga. Ia pun menjadi bintang paling bersinar di jajaran militer
Indonesia. Dialah jenderal termuda yang meraih tiga bintang pada usia 46 tahun.
Ia juga dikenal cerdas dan berpengaruh, seiring dengan penempatannya sebagai
penyandang tongkat komando di pos-pos strategis TNI AD. Namun karier cemerlang
Prabowo berakhir begitu Soeharto lengser dari Presiden.
Sehari setelah sang mantan mertua
mundur, pada 21 Mei 1998, Prabowo pun ikut digusur. Ia bahkan dipersalahkan
sebagai dalang penulikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis
pro-Reformasi yang menuntut Soeharto mundur pada 1997.
“Peradilan DKP (Dewan Kehormatan Perwira) menjelaskan
Prabowo yang memerintahkan penculikan,” jelas Mugiyanto. Pada Agustus 1998, DKP
yang beranggotakan Wiranto, SBY, Fachrul Razi dan Subagyo HS, memang
menyatakan Prabowo bersalah dalam menafsirkan perintah. Prabowo pun kemudian
dipecat. “Kan waktu itu sudah ada DKP, dia dipecat,” kata Koordinator Kontras
Haris Azhar.
Setelah pensiun dini dari TNI, Prabowo
coba meraih kesuksesan di jalan politik. Setelah lama menghilang, sejak
reformasi 1998, Ia kemudian mendirikan Partai Gerindra pada 2008. Sayang, nama
besarnya tidak mampu mengangkat partai yang telah dibangun dengan dana yang
tidak sedikit itu. Bahkan belakangan banyak pengurusnya yang hengkang dari
partai itu. Isunya, mereka kecewa berat dengan gaya kepemimpinan Prabowo yang
otoriter.
Salah satu tokoh yang mengundurkan
diri itu adalah Halida Hatta. Rumor menyebut, Halida hengkang dari Gerindra
pada Juli 2012 karena sudah tidak kerasan dengan sistem kepengurusan partai itu
yang kacau balau. Seorang sumber yang mengenal Halida menutur- kan, putri Bung Hatta
ini kecewa pada Prabowo. Ha- lida berhasil memperoleh suara signifikan di
daerah pemilihannya, DKI Jakarta II, tapi partai tidak mem- perjuangkan atas
apa yang diperolehnya. Namun saat dikonfirmasi, Halida memberi alasan yang
berbeda. “Saya harus membuat pilihan antara sebagai profesional atau
berkecimpung sebagai akti- vis politik dan saya memilih sebagai profesional,”
kata Halida
Sejumlah pengurus partai di daerah
mengeluhkan kepengurusan partai yang sering berganti secara mendadak, tanpa
melalui rapat kerja atau forum resmi partai. Sebab semua keputusan partai ada
di tangan Prabowo seorang. Soal putusan sepihak Prabowo yang otoriter sempat
dikeluhkan Muhammad Harris Indra, mantan Ketua Bidang Pertahanan DPP Gerindra,
lewat surat terbukanya beberapa waktu lalu. Protes yang dilayangkan Indra
terkait pemberhentian Fami Fachrudin, Ketua Bidang Ilmu Pengetahuan DPP Partai
Gerindra oleh Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Pemberhentian Fami dinilai Harris sebagai tragedi demokrasi di Gerindra. “Kami
ingin meng- abdi kepada Republik, melalui ide dan gagasan Prabowo. Namun jika
Prabowo menyelingkuhi ide dan gagasannya sendiri, maka kita patut untuk
mengoreksi kekeliruan itu, dan bukan untuk mendiamkan,” ujar Harris dalam surat
protes
Bagi kalangan TNI, sikap Prabowo
yang otoriter dan sekehendak hati bukan hal yang baru. seorang purnawirawan
TNI, yang enggan namanya disebut, mengatakan, sejak masih berdinas di TNI,
sikap Prabowo yang seperti itu sering dilakukan. “Biasa. Malah dia merusak
sistem menurut saya,” ujarnya. Sumber itu memberi contoh, saat Prabowo jadi Komandan
Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus), jumlah personel pasukan
elite itu mengalami pengurangan. Mengingat beban anggaran saat itu, personel
Kopassus yang sebelumnya berjumlah 5.000 personel dipangkas separuhnya, jadi
2.500 personel, tetapi anggarannya tidak dikurangi. Namun ketika Prabowo
menjabat tanpa koordinasi dengan institusi dan senior-seniornya, jumlah personel
dibesarkan lagi. Semua petinggi TNI tidak bisa berbuat banyak lantaran
Prabowo adalah menantu Soeharto, presiden yang juga sebagai panglima tertinggi
TNI.
Pengamat politik Universitas
Indonesia (UI), Arbi Sanit juga menilai Prabowo sebagai sosok yang tidak stabil
dan gampang meledak sehingga tidak cocok sebagai pemimpin. “Dia bisa
meledak-ledak, enggak bisa sabar meng- hadapi krtitik, enggak ada jaminan
telaten menghadapi perbedaan, kritik dan kontroversi, bagaimana dalam demokrasi
orang seperti itu mendapat kepercayaan?” kritik Arbi. Tudingan Prabowo
merupakan sosok yang otoriter dibantah Ketua Umum Partai Gerindra,
Suhardi. Pemecatan terhadap pengurus partai tidak pernah dilakukan secara
sewenang-wenang. “Saya kira tidak (sewenang-wenang). Walaupun tentu saja
hampir semua orang yang diganti tidak puas, merasa tidak bersalah,” kata
Suhardi
No comments:
Post a Comment