Upaya
Konservasi Lahan Kering
Budaya dan kebiasaan dapat menjadi penghambat pengembangan program
konservasi. Bahkan program peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Bentang
alam lahan pertanian di kawasan perbukitan kering di Kabupaten Banyumas sebelah
selatan Purwokerto umum dijumpai di Jawa Tengah. Di masa lalu, petani belajar
dari aneka jenis vegetasi yang tumbuh alami. Mereka menanam berbagai jenis
palawija, dengan waktu dan masa tanam berbeda- beda. Akibatnya masyarakat
memiliki kedaulatan pangan. Mereka pun memelihara pepohonan usia panjang,
sehingga kesuburan dan kestabilan tanah terjaga.
Lalu tekanan ekonomi, dan program
pertanian pemerintah, menggoyah pola ini, menjadi pertanian monokultur. Petani
sering serentak memilih jenis-jenis tanaman yang sedang tinggi harganya.Pohon
pun habis ditebang. Bahkan pohon pengganti yang baru berusia 2-3 tahun diborong
pedagang kayu. Lapisan permukaan yang subur jadi mudah terbawa air. Curah hujan
tinggi, mencapai 3.000 mm/tahun. Namun musim kemarau menguapkan semua
kelembaban. Hanya beberapa jenis tumbuhan budidaya bertahan: umbi-umbian
tertentu, serta jenis-jenis tanaman pakan ternak (rumput gajah, gliseridia,
lamtoro, kaliandra).
Degradasi lahan dan membesarnya tekanan
ekonomi diperparah kecenderungan pengembangan wilayah kota Purwokerto ke
kawasan pertanian di selatan. Pasokan air dari Gunung Slamet di utara pun
terancam ‘dipotong’ untuk berbagai kebutuhan perkotaan.
Program yang digagas Babad mencoba
mengatasi persoalan ini secara terpadu, dengan konsep agro-silvopastoral:
paduan pertanian organik dengan peternakan sapi dan kambing termasuk
pengembangan hijauan pakan ternak, serta tumbuhan usia panjang (jati dan pohon
buah-buahan).Pengembangan tumbuhan usia panjang, mulai dari pembibitan hingga
penanaman di lokasi-lokasi strategis, terkendala pencurian di lahan publik
(tepi jalan, tepi sungai). Baru sedikit yang mau menerapkan diversifikasi
tanaman. Walau terasering sudah dijalankan, belum banyak ditanami tumbuhan
penahan lereng.
Pengembangan pertanian organik juga
belum banyak diikuti petani, antara lain karena penggunaan pupuk dan pestisida
kimia sudah mendarah daging. Sedikit petani yang mau memanfaatkan kotoran
ternak untuk kompos, antara lain karena dampaknya memang tak langsung terlihat
seperti pupuk kimia. Program penggemukan sapi dan kambing termasuk cepat
diadaptasi, karena masa pemeliharaan relatif pendek.
Pendekatan ekonomi untuk memancing
keterlibatan masyarakat dalam program konservasi, yang kurang memberikan
keuntungan jangka pendek, ternyata tidak seefektif yang diharapkan. Di samping
itu ada kemungkinan berulangnya pilihan masyarakat untuk hanya mengembangkan
satu dua jenis budidaya yang paling menguntungkan dan cepat menghasilkan uang
saja.
Untuk
suatu kawasan lebih dari 20 ribu hektar, jumlah pendamping dan anggaran yang
tersedia tak memadai. Terjadi keterlambatan memfokuskan pengembangan media yang
efektif, seperti pengembangan demplot. Masyarakat ternyata lebih mudah menerima
dan mau mengikuti program jangka panjang kalau sudah melihat sendiri hasilnya.
No comments:
Post a Comment