Friday, March 4, 2016

KONSERVASI LAHAN KERING



Upaya Konservasi Lahan Kering

        Budaya dan kebiasaan dapat  menjadi penghambat pengembangan program konservasi. Bahkan program peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Bentang alam lahan pertanian di kawasan perbukitan kering di Kabupaten Banyumas sebelah selatan Purwokerto umum dijumpai di Jawa Tengah. Di masa lalu, petani belajar dari aneka jenis vegetasi yang tumbuh alami. Mereka menanam berbagai jenis palawija, dengan waktu dan masa tanam berbeda- beda. Akibatnya masyarakat memiliki kedaulatan pangan. Mereka pun memelihara pepohonan usia panjang, sehingga kesuburan dan kestabilan tanah terjaga.
       Lalu tekanan ekonomi, dan program pertanian pemerintah, menggoyah pola ini, menjadi pertanian monokultur. Petani sering serentak memilih jenis-jenis tanaman yang sedang tinggi harganya.Pohon pun habis ditebang. Bahkan pohon pengganti yang baru berusia 2-3 tahun diborong pedagang kayu. Lapisan permukaan yang subur jadi mudah terbawa air. Curah hujan tinggi, mencapai 3.000 mm/tahun. Namun musim kemarau menguapkan semua kelembaban. Hanya beberapa jenis tumbuhan budidaya bertahan: umbi-umbian tertentu, serta jenis-jenis tanaman pakan ternak (rumput gajah, gliseridia, lamtoro, kaliandra).
        Degradasi lahan dan membesarnya tekanan ekonomi diperparah kecenderungan pengembangan wilayah kota Purwokerto ke kawasan pertanian di selatan. Pasokan air dari Gunung Slamet di utara pun terancam ‘dipotong’ untuk berbagai kebutuhan perkotaan.
       Program yang digagas Babad mencoba mengatasi persoalan ini secara terpadu, dengan konsep agro-silvopastoral: paduan pertanian organik dengan peternakan sapi dan kambing termasuk pengembangan hijauan pakan ternak, serta tumbuhan usia panjang (jati dan pohon buah-buahan).Pengembangan tumbuhan usia panjang, mulai dari pembibitan hingga penanaman di lokasi-lokasi strategis, terkendala pencurian di lahan publik (tepi jalan, tepi sungai). Baru sedikit yang mau menerapkan diversifikasi tanaman. Walau terasering sudah dijalankan, belum banyak ditanami tumbuhan penahan lereng.
       Pengembangan pertanian organik juga belum banyak diikuti petani, antara lain karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia sudah mendarah daging. Sedikit petani yang mau memanfaatkan kotoran ternak untuk kompos, antara lain karena dampaknya memang tak langsung terlihat seperti pupuk kimia. Program penggemukan sapi dan kambing termasuk cepat diadaptasi, karena masa pemeliharaan relatif pendek.
        Pendekatan ekonomi untuk memancing keterlibatan masyarakat dalam program konservasi, yang kurang memberikan keuntungan jangka pendek, ternyata tidak seefektif yang diharapkan. Di samping itu ada kemungkinan berulangnya pilihan masyarakat untuk hanya mengembangkan satu dua jenis budidaya yang paling menguntungkan dan cepat menghasilkan uang saja.
        Untuk suatu kawasan lebih dari 20 ribu hektar, jumlah pendamping dan anggaran yang tersedia tak memadai. Terjadi keterlambatan memfokuskan pengembangan media yang efektif, seperti pengembangan demplot. Masyarakat ternyata lebih mudah menerima dan mau mengikuti program jangka panjang kalau sudah melihat sendiri hasilnya.

No comments:

Post a Comment