Thursday, March 10, 2016

KONTROVERSI HATI VICKY



MENCERCA VICKY, MENGOLOK-OLOK DIRI

       Dalamsekejap, akun Twitter Vicky Prasetyo me- narik puluhan ribu pengikut. Meskipun bukan di- buat oleh pemilik asli, akan pembaca temukan gaya bahasa mantan tunangan penyanyi dangdut Zaskia Gotik itu, yang menabrak aturan berbahasa, meng- gunakan susunan bahasa Inggris yang kacau, dan tentu saja menghamburkan kata majemuk yang juga sembarangan. Tak ayal, banyak pemilik akun berbahasa model Vicky, seakan-akan mereka tak pernah melakukan hal serupa. Jelas, bahasa Inggrisnya berantakan, tapi tak pelak penuturnya bermaksud gagah-gagahan. Artinya, siapa pun yang menyelipkan ko- sakata Inggris dalam tuturan bahasa Indonesia, meskipun benar, ia mengalami suasana hati seperti Vicky. Walaupun tidak biasa, sebenarnya kata majemuk, seperti ”kontroversi hati”, yang diungkapkan Vicky masih mungkin dipertahankan, mengingat pembikinan neologisme itu bukan barang baru.
       Tokoh fi lsafat Martin Heidegger adalah salah satu pemikir yang gemar menghadirkan gabungan kosa- kata lama dengan makna baru. Filsuf Jerman ini menghadir- kan kata ada-di seberang (dasein), yang mengandaikan kon- sep fi lsafat eksistensialisme tentang bagaimana setiap indivi- du mewujud secara unik, yang mempunyai makna berbeda dengan susunan kata dalam percakapan sehari-hari dan kamus. Tentu saja, Vicky memerlukan glosari untuk meyakinkan pembaca bahwa istilah yang diperkenalkan bisa dipertanggungjawabkan. Namun ia tidak bisa seenaknya membuat istilah baru dengan meng- ingkari hukum tata bahasa, seperti ”labil eko- nomi”, yang tidak sesuai dengan kaidah DM dalam bahasa Indonesia.
        Tapi rekam jejak Vicky akan menerbitkan keraguan: adakah ia akan mempertanggungjawabkan pemilihan kata tersebut di hadapan publik secara ilmiah? Hiruk-pikuk dan perselisihan penda- pat tentang bahasa Vicky sebenarnya ada- lah cermin dari bahasa khalayak yang acap kacau-balau, baik lisan maupun tulisan. Tentu saja bahasa lisan yang bersifat individual cenderung mengabaikan kaidah, karena ujaran semacam ini kadang bersifat emosional dan kontekstual. Berbeda dengan bahasa tulis: siapa pun akan mencoba mengungkapkannya dengan tertib untuk mengelakkan kesalahpahaman.
      Hanya, mengapa banyak penulis di media massa mempersoalkan perilaku bahasa Vicky yang serampangan, tapi pada saat yang sama mereka melakukan hal yang serupa? Ahmad Baedowi, dalam opini ”Tantangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia” (Media Indonesia, 16 September 2013), mengutip pendapat ahli pendidikan Lickona bahwa di antara tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa adalah penggunaan bahasa yang memburuk. Ia pun membe- ri contoh praktek berbahasa yang buruk, yaitu gaya berujar Vicky.
        Malangnya, dalam sekujur tulisannya, ia tidak bisa mengelak dari penyebutan lema bahasa Inggris, meskipun padanannya dengan mudah ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti integrative, hidden-curriculum, dan direct-word.
       Demikian pula yang terjadi dengan Suhairi Ahmad dalam artikelnya di rubrik Buku Jawa Pos (15 September 2013). Sebenarnya, bahasa itu tidak lebih sebagai alat untuk berkomunikasi. Chuang Tzu (369-286 SM), filsuf Cina, mengumpa- makan bahasa itu seperti jala yang berusaha menangkap ikan di air realitas. Ikan itu sendiri merupakan metafora dari makna, pikiran, dan konsep. Kesalahpahaman akan mudah mun- cul apabila penutur dan mitra tak mengandaikan jala yang sama dalam bertukar maklumat. Betapapun jala itu alat untuk sebuah tujuan, kesalingpahaman sebagai tujuan susah dicapai apabila alat yang digunakan berlubang tembus sehingga ikan dengan mudah terlepas.
        Tentu saja, kita tidak bisa mengelak untuk meminjam kosa- kata dari bahasa asing, mengingat ketidakmemadaian bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan sebagai akibat dari se- makin pesatnya perjumpaan antara manusia sejagat dan per- kembangan teknologi. Namun, sebagai bahasa yang mempunyai aturan, tentu saja ada tata cara dalam penyerapan kata atau istilah. Bagaimanapun, bahasa In- donesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Inggris, sama-sama mengandaikan kaidah yang mapan, meskipun yang terakhir berasal dari banyak bahasa dunia, yaitu Inggris, Romawi, Saksonia, Denmark, dan Norman- dia (Wilkins, 1968: 9-10).
       Ketika penyerapan memungkinkan, ejaan bahasa asal tidak lagi dipakai, dan serapan bahasa sasaran diutamakan. Taat asas berbahasa mengandaikan ke- tertiban berpikir. Apabila seseorang bisa menata kata sesuai dengan aturan, ia tentu te- lah berhasil meletakkan sesuatu di tempatnya. Sama halnya dengan musikus yang baik: ia tidak sekadar menabuh alat musik, tapi juga berusaha agar nada itu tidak sumbang, sehingga enak didengar dan dinik- mati.
       Bayangkan, dalam sebuah opini, seorang penulis menyebut gaya Vicky itu ngawur, yang seharusnya ”mengawur”. Lalu mengapa yang bersangkutan dengan serampangan menuduh orang lain melanggar kaidah kebahasaan? Bukankah perilaku seperti inilah yang diandaikan oleh peribahasa ”menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”

No comments:

Post a Comment